Spasi Koneksi


Keheningan itu datang lagi. Rasa hampa itu mengoyakku, menyergapku, mengurungku dalam ruang tak bertepi yang gelap gulita. Pekat hingga napasku seakan terjerat. Sesak hingga jiwaku ingin berontak.

Keheningan kadang menjadi teman yang amat dinantikan, namun kadang menjadi musuh yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhmu. Menyusup dalam tubuhmu seperti virus, kemudian menginfeksimu tanpa perlu kau tahu.

Aku mengenalnya lewat koneksi ponsel. Kami menemukan keakraban yang tiba-tiba, yang tanpa sadar hadir di antara kami. Aku menemukan seorang teman untuk diajak berbagi, sahabat untuk saling curhat, cerminan jiwa untuk saling introspeksi. Tertawa bersama, mengomel bersama, dan obrolan-obrolan yang tidak menentu. Aku mendapatkan jawaban-jawaban yang belum tentu kudapatkan saat mengobrol dengan orang lain. Keakraban kami berlangsung dari hari ke hari, sore merapat malam.

Ketika menjelang tidur, dia menelepon. Ketika aku mulai butuh teman, aku menelepon. Kami menikmati saat-saat kebersamaan itu.

Keheningan mulai memudar, tanpa perlu menggesek biola atau menyanyi seriosa. Perlahan, ritme kehidupanku mulai berganti. Ada semangat yang berbeda, muncul independen dari dalam hatiku. Berkobar seperti api dalam obor. Hangat yang menyelimuti.

Cinta,
Filosofi,
Alam,
Musik,
Sastra,
Brownies,
Dongeng,
Masker,
Vitamin rambut,
Sikat gigi,
Mantan kekasih,
Oseng-oseng buncis,
Numerology,
Kacamata,
dan hal-hal kecil lain terangkum dalam setiap pembicaraan.

Pikiran kami menyatu. Tawa kami melebur. Bersatu memecah hening malam dan suara jangkrik di luar teras.

Sejak itu keheningan tak pernah lagi datang padaku. Bersembunyi entah di mana.

Ada seseroang di sana yang mau mendengarkan celotehanku, pelampiasan kekesalanku, mimpi-mimpiku. Ada seseorang di sana yang mau mengungkapkan kekecewaannya, kekesalannya, keluh kesahnya. Lalu aku memilih untuk mendengarkannya. Tertawa jika ada hal yang lucu. Merenung jika ada yang harus dipikirkan. Bernyanyi jika tidak ada topik. Dan akhirnya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang tidak butuh untuk dijawab.

Tanpa sadar, kebiasaan itu menjadi sebuah adiksi. Menggerogoti dari dalam seperti karat mengkorosi besi. Terbuai dalam badai feromon yang memberi rasa nyaman. Rasa nyaman yang hangat seperti tidur di sofa dan berselimut saat hari hujan.

Ada rasa lega setiap kali beban di hati tertumpah, berhamburan menguap ke udara. Lalu hilang di atas atmosfer. Curahan hatiku selalu disambut saran-saran dan tawanya. Omelannya. Diamnya.

Suatu hari suaranya mulai pudar. Tak banyak yang bisa kami obrolkan, karena ia lebih banyak diam. Rupanya ia sedang irit suara. Aku juga lebih banyak diam, mendengarkan ketukan-ketukan keyboard komputernya sambil membaca sebuah dongeng tentang pangeran dan puteri.

"Aku lagi Facebook-an." katanya.

"Aku lagi baca." jawabku.

Jawaban yang sama setiap kali kami bertelepon. Seolah menjadi syarat sebuah ritual tak beresensi yang kami lestarikan. Satu menit, sepuluh menit, setengah jam, satu jam, dua jam, hingga lima jam. Kami terhanyut dalam obrolan-obrolan ringan tanpa dasar dan tanpa tujuan.

Eksistensi. Aku ada, ia ada. Kami menyatu.
Kami hanya ingin mengobrol.
Aku ingin melampiaskan kekesalanku.
Aku ingin mendengarkan keluh kesahnya.
Menemaninya ber-Facebook.
Menemaninya gosok gigi.
Menemaninya cuci muka.
Itu saja.

Tanpa perlu tahu siapa dia. Tanpa perlu menyelami pribadinya lebih dalam. Tanpa perlu berpikir tentang cinta yang tak perlu datang.

Kami tidak saling jatuh cinta. Aku berani pastikan. Dan aku juga berani bertaruh kalau dia tidak jatuh cinta padaku.

Kami hanya mengobrol. Titik.

Dan satu kuncinya adalah: aku menemukan sebuah cerminan jiwa, tempat untuk berbagi, topik untuk didengarkan.

Suatu hari dia protes. Rupanya adiksi ini mencapai puncaknya. Saat hormon, rasio, dan afeksi tak mampu lagi bersatu. Saat topik-topik pembicaan mulai usang, saat suara jangkrik kembali menyelimuti, dan keheningan terasa lebih dominan daripada obrolan.

Kami memutuskan untuk berhenti.
Entah sejenak.
Entah selamanya.
Kami pun berhenti bertemu dalam koneksi gelombang sinyal.
Kami menciptakan spasi.

Keheningan itu kembali menyelimuti. Kesepian itu datang lagi.

Tapi aku masih berharap, dia akan menelepon lagi. Untuk sekedar berkeluh kesah. Dan aku akan mendengarkan lagi.

Ritual yang sama. Dia yang ber-Facebook dan aku yang membaca. Sementara koneksi sinyal terus berlangsung. Bagiku itu sudah cukup. Jauh darinya, mendengarnya, tanpa harus hadir di sisinya.

Malam ini kucukupkan hanya melihat namanya di daftar kontakku, tanpa perlu menekan tombol call.

Aku masih berharap dia menelepon lagi.
Saat dia butuh pelampiasan. Saat dia butuh tempat sampah untuk keluh kesahnya. Pagi, siang, sore, malam, dini hari. Kapan pun dia mau.

Aku selalu menantikan teleponnya.

Tanpa perlu berharap lebih.

Itu saja.
Sudah cukup bagiku.

Suatu hari...
... aku percaya.

*) Untuk sahabatku, cerminan jiwaku, dan obrolan-obrolannya yang selalu kunantikan. Aku selalu berharap spasi ini segera berakhir.

Comments

  1. Hi…



    Ada info penting banget nih.. Tahun ini Jawaban.Com kembali mengadakan event gede-gedean untuk Para Bloger Kristen, yaitu Christian Indonesian Blogger Festival 2009 (CIBfest 2009). CIBfest kali ini bertema "Menjadi Jawaban Melalui Kreativitas Yang Berdampak". Ada hadiah berupa uang tunai Rp. 15 Juta Rupiah untuk 3 orang pemenang.Pastikan kamu ikutan juga Writing Competitionnya, siapa tahu hasil tulisan kamu terpilih untuk dibukukan! Yupz, Jawaban.Com bekerjasama dengan PT. Elex Media Komputindo akan menerbitkan buku kumpulan karya finalis CIBfest. Kamu ingin ikut terlibat dalam event ini? Caranya gampang dan Gratis!!! Ayo buruan daftar!! Pendaftaran terakhir tgl 30 Agustus 2009 loh.. Jadi log on langsung ke www.cibfest.jawaban.com



    Di tunggu yaaa….. God Bless…

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts