Apa yang terjadi pada 2022?
Akhir-akhir ini perhatian terhadap hutan Indonesia tidak seheboh awal tahun 2000-an. Rupanya masyarakat telah lupa bahwa global warming masih mengancam keselamatan bumi. Eksposisi berlebihan tahun-tahun belakangan ini belum mampu menyadarkan masyarakat Indonesia untuk hidup secara ramah lingkungan. Belakangan ini malah bisa dikatakan usaha untuk penghijauan semakin menurun.
Saat riset untuk novel terbaru, saya menemukan sebuah ebook tentang hutan Indonesia, judulnya cukup mengerikan: "Hutan Indonesia Musnah pada 2022" (Media Indonesia, Kamis 5 Juni 2008). Berikut ini adalah ulasan beritanya:
DARI 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1,871 juta hektare hutan dihancurkan per tahun antara 2000 hingga2005. Artinya, setiap harinya 51 kilometer persegi hutan di Indonesia hancur (tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya). Atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya.’
Itulah kutipan yang akan tercatat dalam buku Guinness Book of World Record yang akan terbit pada September 2008 mendatang. Catatan ‘prestasi’ (dalam hal terburuk) itu diraih karena Indonesia meraih tingkat laju penghancuran hutan tercepat selama kurun lima tahun itu.
“Sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang ada masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit maupun pertambangan,” ujar Berry Nahdian Furqan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kepada Media Indonesia Selasa (3/6).
Padahal dengan cakupan luas hutan hujan tropis nomor dua di dunia setelah Brasil, hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Kini Indonesia hanya memiliki 10% hutan tropis dunia. Di hutan tersebut terdapat 12% dari jumlah spesies binatang menyusui (mamalia), pemilik 16% spesies binatang reptil dan amfibi, 1.519 spesies burung, dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Menurut data dari World Resource Institute, luas hutan alam asli Indonesia juga menyusut sangat cepat. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%.
Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektare per tahun.
Bencana ekologis
Angka kehancuran Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul Zimbabwe setiap tahun sebesar 1,7% dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4%, dan Brasil hanya 0,6%.
Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah menyelamatkan hutan China sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan China setiap tahun malah bertambah sebesar 2,2%. Sebaliknya, Indonesia saat ini hanya menyisakan 28% hutan primernya. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian besar kawasan Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis (ecological disaster),seperti bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor.
Menurut data dari Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia akibat kerusakan hutan dengan 2.022 korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah, dengan 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor.
Sementara itu, menurut data Walhi, selama 2006-2007 tercatat telah terjadi 840 kejadian bencana yang telah menelan korban 7.303 jiwa meninggal dan 1.140 dinyatakan hilang; sedikitnya 3 juta orang menjadi pengungsi dan 750 ribu unit rumah rusak atau terendam banjir. Selain itu, ragam kekayaan flora dan fauna Indonesia semakin berkurang setiap tahunnya. Akibatnya, akses rakyat Indonesia yang menjadikan hutan sebagai tempat penyedia makanan, obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia semakin sempit.
“Hilangnya hutan di Indonesia menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan penguasaan hutan oleh korporasi, akses warga untuk menikmati hasil hutan juga semakin sempit,” ujar Berry.
Dampak lebih lanjutnya, sambung Berry, meningkatnya kerusakan hutan, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia karena sebagian masyarakat miskin di Tanah Air hidup berdampingan dengan hutan.
Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya perusakan hutan yang terusmenerus. Hal itu akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal itu akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.
Keberadaan industri perkayuan di Indonesia yang memiliki kapasitas produksi sangat tinggi jika dibanding dengan ketersediaan kayu juga turut mempercepat kerusakan hutan. Pengusaha kayu melakukan penebangan tidak terkendali, pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas serta pengusaha pertambangan membuka kawasan-kawasan hutan.
Sayangnya, sepanjang 2007, tidak ada terobosan berarti yang dilakukan negara untuk mengurangi kehancuran ekologis.
Bahkan perluasan hutan dengan konversi terus dilakukan untuk perkebunan swasta skala besar, dan pertambangan. Hutan di hulu, kawasan pemasok air, terus mengalami penggundulan hingga 2,7 juta hektare per tahun.
Di hilir, ekosistem mangrove terus mengalami penyempitan hingga menyisakan kurang dari 1,9 juta hektare sepanjang pesisir Indonesia. Sebanyak 75% dari 12 ribu varietas padi lokal musnah sehingga memaksa petani untuk tergantung pada pupuk dan pestisida kimia dari perusahaan lintas negara. Walhi juga memperkirakan seluruh hutan alam dataran rendah Indonesia akan musnah pada 2022.
So, semuanya kembali kepada pribadi masing-masing, bagaimana kita akan menyikapinya?
*) Gambar dipinjam dari newry.files.wordpress.com
Comments
Post a Comment