Indonesia Tanah Airku



MATAHARI baru muncul dari peraduannya. Kokok ayam jantan bersahut-sahutan, membangunkan anak-anak penghuni Rumah Mentari. Rumah Mentari adalah sebuah panti asuhan di sebuah desa bernama Sukamaju.

Pagi itu, ketika kokok ayam jantan bersahutan, kegiatan di Rumah Mentari dimulai. Dengan segera, anak-anak bangun dari tidurnya, merapikan selimut dan tempat tidur, kemudian bergegas mandi.

Hari itu adalah hari yang spesial bagi mereka. Hari ini, Bapak Bupati akan datang ke desa mereka. Segala persiapan telah dilakukan. Siang ini, anak-anak Rumah Mentari didaulat oleh kepala desa untuk menampilkan kemampuannya di depan Bapak Bupati.

Bu Mutia, pengelola Rumah Mentari mulai gelisah. Hari ini, kreatifitas anak-anak bimbingannya akan dipertaruhkan. Sebuah kesempatan yang langka bisa tampil di depan Bapak Bupati.

Hal yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebuah panggung dipersiapkan di depan kantor desa. Bapak Bupati dan para petinggi desa duduk di barisan paling depan.
Lima anak yang mewakili Rumah Mentari berdiri berjajar di atas panggung. Saat musik dimulai, mereka pun mulai bernyanyi. Akbar, yang tertua, mengambil sikap siap sebagai dirigen.
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa Di sana tempat lahir beta, dibuai, dibesarkan Bunda Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata

Paduan suara itu ditutup dengan tepuk tangan meriah dari para penduduk desa yang menonton aksi mereka. Bu Mutia tersenyum lebar. Hatinya gembira melihat anak-anak asuhannya berhasil menyanyikan lagu tersebut dengan lancar.
Bapak Bupati amat terkesan dengan penampilan anak-anak Rumah Mentari. Beliau berencana untuk berkunjung ke Rumah Mentari setelah berkeliling-keliling desa Sukamaju.

Sesekali Mira ―salah satu anak Rumah Mentari― mencuri pandang pada ekspresi Bu Mutia. Ada setitik air mata yang menetes dari ekor matanya. Mira menyenggol tangan Akbar.

“Apaan sih?” tanya Akbar.

Mira tak menjawab, ia hanya menunjuk ke arah Bu Mutia. Akbar pun tersenyum.
Sore itu, Bapak Bupati benar-benar berkunjung ke Rumah Mentari. Beliau membagikan mainan kemudian berbincang-bincang dengan anak-anak penghuni Rumah Mentari.

“Penampilan kalian tadi bagus sekali. Bapak mau bertanya, apakah kalian bangga menjadi anak Indonesia?” tanya Bapak Bupati.

“Bangga, tapi kadang saya kecewa menjadi anak Indonesia.” Celetuk Akbar tiba-tiba.

“Mengapa?” tanya Bapak Bupati penasaran. Beliau tertarik dengan jawaban Akbar yang jujur.

“Coba kalau saya tidak hidup di Indonesia, mungkin sekarang saya bisa makan dengan enak, pakai baju yang bagus, bisa beli mainan tanpa memikirkan uang. Di Indonesia semuanya mahal.” Jelas Akbar.

“Ada yang punya pendapat lain?” sahut Bapak Bupati.

“Indonesia korupsinya juara satu!” teriak Abel diiringi gelak tawa teman-temannya.
Bapak Bupati hanya tersenyum.

“Kalau kamu, siapa nama kamu?” tanya Bapak Bupati pada Mira.

Mira segera menjawab, “Nama saya Mira.”

“Bagaimana perasaan kamu sebagai anak Indonesia?” tanya Bapak Bupati sambil bangkit dan mendekat ke arah Mira.

“Kadang saya malu menjadi anak Indonesia.” Jawab Mira.

“Mengapa?”

“Karena sebenarnya Indonesia adalah negeri yang kaya. Tapi kebanyakan orang Indonesia malah memperkaya diri. Banyak orang-orang Indonesia yang merusak bangsanya sendiri. Jadi kalau saya disebut sebagai anak Indonesia, seakan-akan saya termasuk dalam kelompok orang-orang yang tidak menghargai bangsanya.” Ucap Mira panjang lebar.

Bapak Bupati hanya tersenyum.

“Semua itu tergantung pada kita. Bagaimana sikap kita sebagai anak Indonesia? Apakah mau ikut-ikutan merusak nama Indonesia, ataukah kita harus memperjuangkan lagi nama harum Indonesia. Kalian cinta Indonesia?” tanya Bapak Bupati.

Dodi menjawab lantang, “Saya bangga sebagai anak Indonesia. Seandainya saya tidak hidup di Indonesia, mungkin saya tidak pernah mengenal teman-teman. Seandainya saya tidak di Indonesia, pasti saya tidak akan tinggal di Rumah Mentari, mengenal Bu Mutia yang penuh kasih sayang, mendengarkan kokok ayam jantan di pagi hari, melihat para petani mencangkul di sawah, dan hal-hal lain yang menyenangkan buat saya. Saya sangat bahagia bisa dilahirkan sebagai sebagai anak Indonesia. Banyak hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Indonesia punya keanekaragaman suku dan budaya. Semuanya itu membuat saya bangga disebut anak Indonesia”

“Seandainya saya hidup di negara lain, belum tentu saya mendapatkan teman-teman sebaik teman-teman saya di Rumah Mentari. Belum tentu saya disayangi orang sebaik Bu Mutia, belum tentu saya bisa hidup dengan bahagia.” Sambung Dodi.

Bu Mutia menyeka air mata yang mengalir di ujung matanya. Belum pernah ia mendengarkan komentar seindah itu. Tanpa disadari, banyak hal yang dapat disyukuri sebagai bangsa Indonesia.

Bapak Bupati kembali duduk, “Jadi kesimpulannya, semua itu hanya tergantung dari sudut pandang mana kita memandang Indonesia. Apakah dari kejelekannya saja, ataukah dari kelebihannya.”

Malam hari sebelum tidur, Bu Mutia berbincang-bincang dengan anak-anak Rumah Mentari.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Selain itu bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga akan tumpah darahnya.”

Bu Mutia berkata lagi, “Para pahlawan telah menghadiahkan kemerdekaan Indonesia kepada kita. Sekarang, saatnya bagi generasi muda seperti kalian untuk mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang mengharumkan nama Indonesia.”

“Bagaimana caranya, Bu?” tanya Mira.

“Banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya dengan belajar rajin, kalian bisa memajukan negeri ini di masa depan karena kalianlah calon pemimpin masa depan bangsa. Isilah kemerdekaan ini dengan prestasi-prestasi kalian. Kalian harus rajin belajar.” Jawab Bu Mutia.

“Mengapa Indonesia tidak makmur, Bu? Padahal Indonesia kan kaya akan hasil bumi dan budayanya?” tanya Dodi penasaran.

“Karena masih banyak orang yang tidak sadar akan pentingnya melestarikan hasil bumi dan budaya Indonesia. Banyak orang yang memanfaatkan kekayaan Indonesia untuk memperkaya dirinya sendiri. Itu adalah contoh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.” Sahut Bu Mutia.

“Sekarang ibu ingin bertanya. Maukah kalian mengisi kemerdekaan kalian dengan belajar rajin?” tanya Bu Mutia.

Semua anak penghuni Rumah Mentari mengangguk.
Ibu Mutia pun tersenyum bangga.

Malam itu, mereka merenung dengan satu tekad di hati mereka, “Aku bangga menjadi anak Indonesia. Aku harus berjuang demi nama Indonesia dengan belajar rajin. Aku akan membawa nama Indonesia melalui pemikiran-pemikiran dan ilmuku. Pokoknya, aku akan membuat ibu pertiwi tersenyum seperti senyum haru Ibu Mutia.”
Lagu Indonesia Pusaka kembali mengalun dalam mimpi-mimpi mereka. Dan semangat nasionalisme mengalir dalam setiap detak jantung dan helaan napas mereka. Ternyata ada banyak hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia, tergantung dari sudut pandang mana kita memandang Indonesia. Satu yang harus kita punyai adalah rasa cinta akan tanah air, bangsa, dan negara kita, Indonesia tercinta. Rasa cinta tanah air itu yang akan menjadi bekal bagi kita untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan.

Surabaya, 10 November 2008

*) Cerpen ini ditulis untuk memenuhi tugas MKU Kewarganegaraan mengenai nasionalisme.
**) Gambar dipinjam dari sini

Comments

Popular Posts