Catatan tentang Teknik Kimia
Pilihan adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia. Pilihan dan keputusan bagaikan dua sisi uang logam yang saling melengkapi. Dua tetapi satu. Bagaimana kelanjutan kehidupan kita, tergantung bagaimana keputusan kita untuk memilih. Ada banyak pilihan dalam kehidupan kita, dan setiap pilihan memiliki konsekuansinya masing-masing. Pilihan-Keputusan-Konsekuensi-Resiko, adalah hubungan sebab akibat yang tidak dapat dihindari. Keempatnya terangkai menjadi sebuah istilah yang dinamakan kehidupan.
Saya pernah menonton sebuah kuis di salah satu stasiun televisi swasta, dimana peserta diharuskan memilih satu diantara tiga tirai. Dalam tirai tersebut sudah disiapkan tiga hadiah yang nilainya berbeda-beda. Satu dari tiga tirai harus dipilih untuk dibuka, dan setiap keputusan tergantung hanya pada satu faktor yaitu keberuntungan. Setiap keputusan memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada satu episode dimana peserta memilih tirai yang berisi sebuah mobil, ada juga episode dimana peserta memilih tirai yang berisi puluhan sapu lidi. Lucu. Mengharukan. Saya yakin, setiap orang lebih memilih satu mobil daripada puluhan sapu lidi.
Dalam kehidupan, setiap orang pasti lebih mengharapkan kesuksesan daripada kegagalan. Namun setiap kita diharuskan menempuh berbagai macam pilihan yang akan menentukan masa depan kita. Hidup, sebagaimana pilihan adalah sebuah keputusan. Kehidupan bagi saya adalah bagaimana cara kita untuk menjalani konsekuensi dari setiap pilihan, menanggulangi resiko dari setiap keputusan.
Maret 2006 adalah titik tolak saya untuk menentukan pilihan besar bagi kehidupan saya. Saat itu saya masih berusia 16 tahun, kelas 1 SMA. Sebuah perenungan yang membuat saya tersadar bahwa dalam dua tahun ke depan, akan ada dua pilihan yang akan mengubah total jalan hidup saya. Setiap pilihan memiliki konsekuensi tersendiri. Dan prinsip itu memenuhi pikiran saya di hari ulang tahun, sebuah momen sakral yang seharusnya dihabiskan dengan makan-makan atau pesta pora. Ada satu hal yang saya endapkan dalam otak saya: apa yang akan saya lakukan setelah lulus SMA? Di tangan saya, ada dua pilihan. Pertama, saya akan bekerja di dalam kota, berbekal ijazah SMA dan harapan untuk mendapatkan gaji sebanyak-banyaknya. Kedua, saya akan kuliah, dengan biaya terbatas, dengan budget yang terus ditekan, dan harapan untuk lulus dengan IP maksimal.
Saya tahu jika saya memutuskan untuk memilih pilihan pertama, berbagai konsekuensi akan datang. Dalam angan-angan saya, seandainya saya memutuskan untuk bekerja hanya dengan berbekal ijazah SMA, saya akan mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat saya, yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam, red). Jika ada koneksi, mungkin saya akan dipercaya untuk mengatur sebuah toko atau mengelola keuangan sebuah lembaga. Jika tidak ada koneksi, paling-paling saya hanya akan menjadi seorang penjaga toko atau pun sales. Wiraswasta? Saya kira tidak. Saya tidak punya pengalaman dalam mengelola sebuah lembaga, dan saya harus belajar terlebih dahulu jika memilih menjadi wiraswasta. Saya tahu, pekerjaan ini akan mendatangkan gaji pas-pasan untuk makan dan biaya hidup. Bagi masa depan? sepertinya tabungan saya akan terisi sedikit demi sedikit. Peribahasa mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Bagi saya peribahasa itu sudah ketinggalan zaman, tergerus penurunan nilai rupiah, kenaikan harga kebutuhan, dan resiko PHK yang kian megancam.
Jika saya nekat untuk memutuskan keputusan kedua, saya tahu rintangan yang harus saya hadapi akan lebih besar daripada jika saya memilih pilihan pertama. Seandainya saya memutuskan untuk kuliah, orangtua saya harus merogoh kocek dalam-dalam, hutang sana-sini, jual ini-itu, melirik peluang usaha baru atau hal-hal lain. Saya tahu benar, saya menyadari bahwa saya bukan dari kalangan berduit. Dan inilah halangan terbesar bagi saya untuk memilih pilihan kedua. Masalah finansial seakan memberatkan saya untuk memilih pilihan ini. Saya tahu konsekuensinya mungkin akan lebih baik daripada pilihan pertama. Seperti kata peribahasa, berakit-rakit ke hulu, berenang renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu lalu senang kemudian. Saya akan meninggalkan Probolinggo, kuliah di sebuah universitas dengan biaya rendah. Lulus dengan IP memuaskan lalu bekerja di perusahaan besar. Gaji besar yang dapat dibagi-bagi untuk seperlima untuk kepentingan pribadi, duaperlima untuk kepentingan keluarga, dua perlimanya lagi untuk tabungan masa depan.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan berujung pada September 2006. Saya memutuskan untuk kuliah. Saya menyukai perubahan. Dan pilihan ini akan membuat perubahan besar dalam diri saya dan keluarga saya. Saya tahu bahwa pilihan ini terlalu memaksa mengingat kondisi finansial yang pas-pasan. Tapi harapan untuk memperbaiki nasib hidup saya dan keluarga, menjadi pondasi saya untuk mengarungi dunia perkuliahan. Setelah keputusan ini dibuat, kini saya dihadapkan pada banyak pilihan. Fakultas dan jurusan apa yang saya ambil? Saya tidak memikirkan akan memilih universitas mana. Jika saya diberi daftar universitas berdasarkan biaya pendidikannya, saya akan memilih satu antara lima paling bawah, dengan pertimbangan kualitas. Saya tidak akan melirik daftar teratas, karena bagi saya universitas adalah sebuah sarana. Semua universitas bagi saya adalah sama, tergantung kita yang menjalaninya. Kesuksesan adalah sebuah tempat tujuan, universitas adalah sebuah kendaraan, dan kita adalah pengendara yang akan memutuskan untuk memilih.
Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan sebuah tawaran untuk mengikuti Seleksi Olimpiade Nasional Bidang Kimia. Bagi saya, mengikuti seleksi ini adalah sebuah Proyek Percobaan Bagian Pertama. Seleksi ini adalah semacam indikator bagi saya, sebuah proyek coba-coba yang akan mempengaruhi keputusan saya. Mengingat kondisi nilai mata pelajaran Kimia saya berada di puncak grafik, saya memutuskan untuk mencoba. Saya lolos seleksi pra-olimpiade dan masuk 100 besar Jawa Timur. Seleksi kedua berlangsung tanggal 14 Maret 2007 dan saya lolos 5 besar tingkat Kota. Seleksi ketiga diadakan sekitar bulan Juni 2007 di Surabaya. Saya tidak lolos tingkat Nasional. Namun keputusan saya mengikuti Olimpiade Kimia membuat saya mencintai Kimia. Keputusan kedua telah dibuat, saya akan memilih Jurusan Teknik Kimia. Akhir 2007 saya mendaftar di Unika Widya Mandala Surabaya berdasar pertimbangan kualitas dan biaya pendidikan. Kebetulan dari nilai raport dan hasil Olimpiade, saya memenuhi syarat untuk masuk jalur prestasi (dimana biaya bisa lebih murah daripada jalur lainnya). Keputusan telah dibuat, saya akan kuliah.
Saya mempercayai sinkronisitas, dimana semesta seakan memberikan kejutan-kejutan dan kebetulan unik. Ada seorang dermawan yang tidak mau saya sebut namanya (karena alasan perivasi dan lain hal) yang amat membantu dalam hal keuangan. Sinkronisitas lain adalah banyaknya angka 9 (yang merupakan angka keberuntungan saya) seakan turut ambil bagian dalam keputusan saya.
Saya memutuskan untuk melakukan Proyek Percobaan Bagian Kedua. Saya akan berkuliah satu semester. Seandanya nilai IP saya di semester pertama tidak memenuhi angka 3,00 saya akan berhenti dan melaksanakan rencana A, yaitu kembali ke Probolinggo dan bekerja. Namun, sendarinya nilai IP saya memenuli 3,00 saya akan melanjutkan perjuangan saya untuk menyelesaikan kuliah.
Keputusan saya untuk kuliah mendatangkan berbagai komentar dari luar. salah satu teman saya bahkan mengeluarkan celetuknya: Lo kuliah gara-gara gengsi doang? Lulusan S1 juga banyak yang nganggur. Cuman ngabisin duit. (Tahukah kamu bahwa celetukan ini membuatmu menjadi teman yang sulit dilupakan.) Beberapa orang seakan menghakimi saya, seakan-akan kuliah adalah keputusan gegabah. Saya telah memikirkan keputusan ini matang-matang. Dalam jangka waktu dua tahun saya terlibat tekanan batin untuk mempertimbangkannya. Saya tidak membutuhkan komentar orang lain untuk ikut campur dalam keputusan hidup saya. Saya ingin dihargai, sebagaimana setiap orang memiliki hak untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
Saya akan balik bertanya: apakah kamu akan selalu ada saat saya terpuruk? Saya hanya butuh privasi dalam mengambil keputusan ini. Saya juga tidak turut campur dalam keputusan Anda, sebagaimana saya tidak ingin campur tangan dari orang lain. Setiap orang punya pilihannya sendiri, punya konsekuensi sendiri.
Proyek Percobaan Bagian Kedua berujung pada KHS saya dengan IP 3,75. Perjuangan belum berakhir. Saya percaya semesta mendukung saya untuk menjalani konsekuensi dari keputusan saya kuliah. Dan harapan saya masih ada dalam benak, bagaikan bom yang menunggu untuk meledak.
(*) Gambar dipinjam dari www.queensu.ca
Comments
Post a Comment