Tentang Berpisah



Setiap sesuatu yang dimulai akan selalu menghadapi resiko berakhir. Demikian pula dengan kehidupan, begitu juga dengan hubungan. Pertemuan dan perpisahan ibarat satu paket sekali bayar yang tidak dijual terpisah.

Dalam sebuah hubungan, kita bisa membuat seribu satu macam alasan perpisahan, mulai adanya orang ketiga, beda keyakinan, tidak cocok, terlalu baik untukku, tidak direstui, jenuh, dan beragam alasan lain yang berujung pada satu inti. Memang sudah waktunya. Kehidupan punya tenggat waktu, cinta juga punya masa kedaluwarsa, meskipun di masa tenggang kita tentu saja berjuang setengah mati untuk bisa bertahan.



Di setiap episode kehidupan ada yang datang dan ada yang pergi. Seperti petualang yang memutuskan untuk keluar rumah demi mendatangi sebuah tujuan, kehidupan pun tak lepas dari proses yang namanya ‘mencari’. Dalam pencarian itu, kita kerap kali singgah sejenak di suatu tempat yang membuat kita nyaman. Mereka yang menemukan kenyamanan tanpa perlu berharap apa-apa lagi mungkin akhirnya memutuskan untuk berhenti, sedangkan sebagian yang merasa berhenti berkembang akan bergegas pergi meraih tujuan berikutnya, kembali ke proses pencarian.

Kalau akhirnya saya dan dia memutuskan untuk kembali sendiri-sendiri, tentu itu bukan keputusan sekali jadi ibarat ambil barang lalu bayar di kasir. Ada proses berusaha, ada toleransi, ada kompromi, ada masa kontemplasi dan introspeksi. Jika ujungnya kami memutuskan untuk berpisah bukan berarti kami gagal, melainkan bertransformasi dari bentuk hubungan satu ke hubungan lainnya.

Ada berbagai macam versi alasan yang dibuat-buat, dari yang sederhana sampai yang megah hingga perlu berbusa-busa menjelaskan. Tapi sejatinya ada satu alasan kenapa saya dan dia akhirnya memutuskan untuk belajar melepaskan. Kami sudah sampai di satu titik kesadaran bahwa memang sudah waktunya untuk belajar berjalan sendiri-sendiri. Kami ibarat rel kereta api yang selalu bersama tapi tak pernah bertemu di satu titik. Tujuan kami berbeda, saya punya tujuan dan mimpi yang berbeda darinya. Tentunya ada usaha untuk menyatukan dua tujuan tadi, sebagaimana proses kompromi yang saya sebutkan sebelumnya. Namun lama kelamaan kami sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa disatukan, hal yang melampaui sekedar toleransi.

Lebih dari sekedar itu, dalam hubungan yang semakin berkembang kami juga ikut tumbuh. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kami bertumbuh dalam laju yang berbeda. Di satu titik saya akhirnya menyadari dia telah berkembang melampaui batas kapasitas saya untuk mencintai, untuk berbagi, untuk memberi. Kami seperti siput dan kelinci dalam lomba lari.

Memaafkan menurut saya adalah menerima. Menerima diri kami kembali, berdamai dengan kenyataan dan mengendapkan kenangan yang pernah ada. Saya dan dia memulai hubungan ini dengan baik-baik, maka ketika hubungan ini mencapai titik jenuh kami pun berdiskusi. Bentuk “memaafkan” bukan berarti memutuskan kembali bersama, dengan kompromi dan toleransi jenis baru. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi. Enam minggu yang lalu, kami sama-sama menyadari konsep kami sebagai pacar, kekasih, belahan jiwa, pujaan hati, dan sejenisnya lebih baik diakhiri sampai situ.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa kami memutuskan itu, banyak yang kecewa, banyak yang bertanya mengapa kami tidak berusaha, sekaligus banyak yang medoakan agar lebih baik ke depannya. Terima kasih untuk mau mengerti tanpa harus saya jelaskan. Terima kasih untuk dukungannya selama ini. Untuk kemampuannya menahan ataupun berkomentar meskipun saya tahu ada yang ingin mengomentari bahkan menghakimi. Kami tidak akan memutuskan bertahan hanya untuk membahagiakan orang lain.

Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk dia yang pernah hadir. Terima kasih untuk usaha selama ini, untuk penerimaan, untuk kapasitasnya berbagi, untuk segala kenangan yang akhirnya jadi pengalaman. Pengalaman yang sedikit banyak mendorong kita untuk sama-sama belajar jadi lebih baik. Selamat berjuang untuk mimpi-mimpi dan tujuan berikutnya. Selamat bertemu orang-orang baru, hubungan baru, ritme hidup yang baru. Ketika saya menuliskan ini, saya akhirnya mampu bangkit dari proses memaafkan. Saya berharap ketika dia membaca, dia juga sampai pada taraf yang sama. Dengan demikian kami bisa menemukan cara yang lebih cocok untuk mewadahi relasi kami sebagai dua manusia. Yakni sebagai sahabat, tanpa pretensi apapun.

Comments

Popular Posts