Gosok Gigi




Dulu kamu selalu rajin menyuruhku gosok gigi setiap malam. Ibarat peri gigi, seringkali kamu inspeksi mendadak lewat dering telepon jam sembilan malam. Sekedar menyuruhku menyikat gigi, kamu rela menghabiskan pulsa demi menghubungkan sinyal 1529 kilometer.

“Saatnya gosok gigi!” serumu dari seberang sana. Lalu aku akan mengiya dan bergegas menuju wastafel untuk menuruti perintahmu. Dengan sabar kamu menungguiku menyikat gigi. Kadang kamu juga sedang gosok gigi di sana. Sementara ponsel kuletakkan di bibir wastafel sambil kuaktifkan loud speakernya, terdengar suara gemericik air, bersambung gemerisik seperti suara radio mati siaran, lalu diakhiri suara kumur-kumurmu bersamaan dengan bunyi keran air ditutup.

“Hah!” hembusmu di telingaku. Tanda kamu sudah selesai dengan ritualmu menggosok gigi.

Kamu selalu percaya bahwa momen dua menit itu adalah momen sakral. Di dua menit itu kamu bisa bercengkerama dengan dirimu sendiri. Dalam momen singkat itu hanya ada kamu, sikat gigi, dan semesta pikirmu yang luas. Aku yang monoton selalu percaya bahwa gosok gigi baik untuk kesehatan gigi dan membunuh kuman penyebab gigi berlubang. Titik.

“Kenapa sih kamu suka banget menggosok gigi?” tanyaku suatu hari.

“Suka aja…”

“Kenapa?” aku penasaran.

“Entah, pokoknya suka… kenapa harus dipertanyakan dengan ‘kenapa’.”

Aku tertawa, kamu sebal.

Tanpa kusadari, momen dua menit itu menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan. Kamu secara sembunyi-sembunyi menginfiltrasi dan menjadi bagian dari prosesi gosok gigiku setiap malam. Ketika akhirnya kita memutuskan untuk menjauh, aku tak pernah lupa gosok gigi. Waktu dua menit itu yang akhirnya menjadi penghubung antara rinduku dengan bayanganmu. Dalam dua menit itu hanya ada aku dan kenangan tentangmu. Setiap malam aku berharap kamu akan meneleponku lagi, sekedar mengingatkanku gosok gigi. Itu saja barangkali cukup bagiku. Semoga malam ini ponselku berdering lagi tepat jam sembilan…

Comments

Popular Posts