Hujan, Jarak, dan Kamu


Angkasa terbahak. Langit tiba-tiba memuntahkan bulir-bulir air. Sepi menjelujur tepi hati hingga ruang tempatku bernapas terasa pengap. Di tengah gemuruh langit dan listrik yang kemudian padam, mendadak aku ingat kamu. Ada energi yang membius otak kemudian menggerakkan jemariku untuk menulis pesan padamu: "Hai, lagi ngapain?"

Harusnya tak ada lagi alasanku untuk menyapamu, meskipun hanya sekedar pesan singkat bahkan secuil ping di Blackberry messenger.
Ketika aku sadar, pesan itu sudah terkirim padamu lewat benang-benang gelombang yang mengantarkan kata hatiku.



Setelah hampir sembilan bulan sejak kita memutuskan untuk menjauh, banyak hal terjadi padaku... padamu. Aku baru menyadari bahwa waktu bisa meregang dan menyusut, menggulung kita dalam pasang surut ombak kehidupan. Tanpa pernah ku tahu, tanpa pernah ku sadari. Hidup mengubahku menjadi candaan semesta. Waktu memberi kita ruang untuk bertemu orang-orang baru, hubungan baru, ritme hidup baru, membiarkan kita lupa sejenak pada masa lalu. Dan dalam sekejap semuanya sirna, ketika aku sadar, aku bukan lagi orang yang sama.

Tak lama kemudian pesanmu tiba lewat dering pendek dari ponselku, masih dengan nada yang sama seperti tidak pernah ada jarak sekian lama: "Nggak ngapa ngapain. Kamu apa kabar?"

"Aku baik. Disini hujan." jawabku.
"Memang lagi musim hujan. Hehe. Disana sering banjir nggak?"

Banjir memang terjadi, menguyur hatiku dengan segumpal kenangan dan tahun-tahun bersamamu. Mungkin benar bahwa hati tak perlu memilih, ia tahu kemana harus berlabuh. Kalau akhirnya ketika aku kembali sendiri dan orang pertama yang ada di pikiranku adalah kamu... Mungkin selama ini aku terlalu sibuk mencari sambil menutup mata, padahal kau ada di sana dan aku hanya perlu menoleh. Malam itu aku sadar aku tak lagi sama. Tapi hatiku masih sama seperti sembilan bulan yang lalu... sebelum ada jarak.

Comments

Popular Posts