Makna Manusia sebagai Makhluk Berbadan


Teori dualisme raga dan yang disusun oleh Aristoteles (383-322 SM) mengungkapkan bahwa raga menerima informasi pada tingkat indrawi yang primitif melalui perabaan, pencecapan, penciuman, pendengaran, dan penglihatan. Raga memberikan eksistensi terhadap esensi setiap manusia yakni jiwa. Aristoteles menyatakan bahwa emosi kemarahan, keberanian, dan hasrat, serta berbagai sensasi merupakan fungsi-fungsi jiwa, namun semuanya hanya dapat bertindak melalui raga.

Plato (427–347 SM) maupun Plotinus (203–270) menurunkan derajat berbagai fungsi ragawi ke kondisi negatif ketidakandalan dan fungsi-fungsi dasar. Dalam hal ini, tubuh ibarat penjara bagi jiwa yang menghambat fungsi-fungsi jiwa yang lebih tinggi dan merupakan kesejatian manusia.

Periode Kristenitas yang dimulai dengan kepemimpinan Santo Paulus (10–64 M) menyatakan bahwa setiap manusia terdiri dari sebuah esensi, yakni jiwa, yang menunjukkan eksistensinya melalui tubuh. Paulus memandang tubuh fisik sebagai sesuatu yang jahat dan tidak adekuat. Oleh karena itu diperlukan keyakinan kepada Tuhan untuk mengatasi nafsu dan nalar.

Thomas Aquinas (1225–1274) menyatakan bahwa manusia didefinisikan sebagai esensi dan eksistensi. Esensi manusia adalah universal yang mengklasifikasi karakteristik semua manusia. Ia terdiri dari dunia fisik, yang merupakan asal mula tubuh, dan jiwa, yang abadi dan memiliki fungsi-fungsi utama yakni pikiran dan kehendak. Dari potensi hingga prinsip aktualisasi, eksistensi seseorang menentukan individualitasnya. Dengan demikian, manusia terdiri dari unsur ragawi dan spiritual yang penting, yang interaksi dinamisnya menghasilkan humanitas yang sama, yang diekspresikan secara individual.


Dalam psikologi Descrates (1596-1650), pikiran adalah entitas spiritual dan wujud bukan materi, berbeda dari tubuh dan lebih mudah dikenal daripada tubuh karena prinsip pertama, yakni refleksi diri. Tubuh adalah entitas fisik yang merespons dunia eksternal melalui mekanika fisiologi. Hubungan antara pikiran dan tubuh sejatinya merupakan interaksi psikofisis. Tubuh manusia dengan operasi mekanisnya berbeda dari hewan hanya karena ia digerakkan oleh pikiran.

Manusia sebagai makhluk berbadan diartikan sebagai keharusan manusia memiliki badan sebagai materi eksistensialnya. Meskipun esensi dari manusia adalah jiwa, tanpa badan, jiwa belum dikatakan sebagai manusia. Manusia adalah kesatuan antara jiwa dan badan. Jiwa merupakan pusat pemikiran, gagasan, dan motivator sedangkan badan merupakan pelaksana seluruh kegiatan. Hubungan antara jiwa dan raga ini membentuk manusia secara utuh.

Badan manusia diidentikan dengan mesin yang melaksanakan kegiatan-kegiatan fisiologi yang menunjang kehidupannya. Dengan adanya badan, manusia mampu menunjukkan eksistensinya. Badan yang berwujud materi merupakan entitas manusia, yang menjadikan manusia ‘ada’.

Manusia tidak dapat dipisahkan dari badannya. Terpisahnya antara jiwa dan badan menyebabkan kematian. Namun di sisi lain, badan juga tidak dapat diidentikkan dengan manusia. Manusia sepenuhnya adalah gabungan/ hubungan/ kompleksitas antara jiwa dan badan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk berbadan memiliki makna bahwa manusia memerlukan badan sebagai materi eksistensialnya, sebagai penggerak, dan pelaksana seluruh kegiatan. Manusia tidak dapat dipisahkan dari badan karena badan merupakan salah satu elemen penting yang menyusun manusia (selain jiwa).

Bibliografi

Brennan, James F. 2003. Sejarah dan Sistem Psikologi Edisi Ke Enam. Jakarta : Rajawali Press.

Team Dosen UPT-MKU Unika Widya Mandala Surabaya. Diktat Filsafat Manusia. Surabaya : Unika Widya Mandala.

Comments

Popular Posts