Engkong di Mata Saya
Hanya tak mudah bagiku lupakanmu
Dan pergi menjauh
Beri sedikit waktu
Agar ku terbiasa bernapas tanpamu...
Dan pergi menjauh
Beri sedikit waktu
Agar ku terbiasa bernapas tanpamu...
Bernapas Tanpamu - Lyla
Ketika pertama kali menyebut kata 'kakek', otomatis memori di otak saya akan bergerak menyusuri lorong waktu. Mengingat kembali tentang kakek [yang saya sebut engkong] ibarat menelanjangi kisah masa kecil yang tak terlupakan.
I have two grandpas. And I love both of them.
Pertama, engkong dari ayah saya. Ada apa di balik sesosok Suryo Hadinoto, hingga saya demikian rindu untuk sekedar berbincang sambil menikmati teh pahit? Saya merasa kekurangan banyak waktu bersamanya setelah ia pergi beberapa tahun yang lalu.
Saya mungkin tidak terlalu dekat dengan beliau, karena jarak Semarang-Probolinggo yang tidak memungkinkan kami bertemu sesering mungkin. Tapi di satu sisi saya memiliki ikatan batin yang kuat dengan engkong saya satu ini. Terlintas dalam benak saya kaus putih dan celana panjang katunnya sambil membaca majalah berbahasa Mandarin di teras rumah. Sesekali membenarkan kacamatanya. Saya masih ingat betul, karena engkong saya yang satu ini mirip dengan Pramoedya Ananta Toer.
Di usianya yang mencapai kepala delapan, ia masih menyisakan waktu untuk sekedar membaca. Beliau memiliki ketajaman memori, yang [saya rasa] dikembangkannya dari satu ini. Hobi membaca ini rupanya menurun pada saya, yang tergila-gila hingga setengah mati pada buku.
Saya terakhir bertemu langsung dengan engkong pada bulan Juni 2003, di Jakarta. Saat itu kesehatannya sudah mulai menurun akibat kanker usus yang dideritanya. Tapi bicaranya masih jelas, menyiratkan kecerdasannya.
Ah... andai saya punya waktu lebih bersamanya, saya akan membuat daftar hal-hal yang akan saya lakukan bersamanya. Hal ini baru saya sadari ketika saya mulai dewasa.
Sosok engkong kedua saya dapatkan dari seorang Ridwan, ayah dari ibu saya.
Saya punya lebih banyak memori bersama beliau, meskipun engkong terlalu cepat meninggalkan saya. Saat itu tahun 1996, saya masih berumur enam tahun saat itu. Dan definisi 'meninggal' bagi sata [saat itu] begitu abstrak.
Yang saya ingat dari engkong saya satu ini adalah kegemarannya memelihara kelinci. Saat itu usia saya sekitar 3 tahun, masih belum sekolah. Otomatis banyak waktu yang saya habiskan bersama beliau. Ingatan saya tertuju pada kenangan saat membeli kangkung untuk kelinci-kelincinya, saat bermain layang-layang bersamanya, atau berjalan ke desa-desa menyeberangi sungai dan melewati hamparan sawah.
Engkong saya yang ini mirip Bob Hasan. Penggemar berat Elvis Presley. Engkong juga gemar menulis puisi. Yang baru saya ketahui tahun-tahun belakangan ini. Beliau seorang yang pandai merangkai kata-kata. Beberapa puisi cintanya untuk Emak [nenek] masih tersimpan rapi hingga saat ini di peti besi miliknya. Bakat ini menurun pada saya, yang tergila-gila merangkai kata-kata.
Saya merindukan sesosok kakek hadir dalam hidup saya. Saya pernah punya dua, namun kini saya tidak punya satu pun. Saya bersyukur punya waktu untuk mengenal mereka. Saya bersyukur karena mendapatkan warisan bakat [yang saya percaya tidak dapat dibeli atau dijual, yang lebih berharga dari uang atau pun harta]. Saya bersyukur untuk bisa menjadi cucu mereka.
Dua orang hebat dalam sosoknya masing-masing. Dan tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Dua sosok hebat yang mengalirkan darah kreatifnya ke dalam darah saya. Dua manusia yang menyatu dalam jiwa saya. Mungkin benar kara orang: sesuatu akan terasa lebih bermakna saat ia telah tiada. Dan kini aku percaya.
*) Gambar dipinjam dari sini
**) Pic #1 dan #2 merupakan dokumentasi peribadi penulis
Comments
Post a Comment