Burung Gereja, Pohon Akasia, dan Surga Kecil



Orang Indonesia menyebutnya burung gereja. Orang bule menyebutnya eurasian tree sparrow. Pada 1758, bapak taksonomi Carl Linnaeus, akhirnya memberinya nama binomial Fringilla montana, dan dua tahun kemudian Mathurin Jacques Brisson, seorang zoolog Prancis memindahkannya ke genus baru: Passer. Jadilah ia bernama Passer montanus.

Burung ini panjangnya sekitar 12,5 hingga 14 cm dengan rentang sayap mencapai 21 cm dan berat sekitar 24 gram. Bagian dadanya berwarna putih sementara punggungnya berwarna cokelat muda dengan variasi garis hitam dan cokelat tua. Genus Passer dipercaya berasal dari Afrika dengan keragaman hingga 15-25 spesies, yang tersebar di Eropa, Asia Timur, Asia Tenggara, dan Australia.



Saya punya simbiosis khusus dengan burung satu ini. Di depan kamar saya -yang ada di lantai dua- ada sebuah pohon akasia (Acacia auriculiformis) yang rupanya menjadi rumah tempat bersarang ratusan burung gereja. Setiap menjelang fajar, ketika atmosfer masih segar karena embun dan bumi masih sepi dari bising kendaraan, suara cericitnya akan menggema dari dalam dedaunan. Suara cicitnya yang tipis-tinggi bersahutan membentuk simfoni yang acak tapi harmonis. Beberapa kadang hinggap di pagar besi balkon depan kamar saya. Bunyi-bunyian vokal yang disebut tschip ini rupanya dihasilkan dari burung jantan yang tak berpasangan. Vokal monoton seringkali digunakan sebagai kontak sosial antar burung.

Burung ini bermigrasi ke selatan selama musim dingin di utara. Di Australia, mayoritas tersebar di Melbourne. Sementara burung ini dianggap sebagai hama tanaman buah dan serealia. Perpindahan burung gereja ke Australia biasanya bersamaan dengan kapal dari Asia Tenggara. Di Indonesia, burung gereja yang ada tergolong dalam subspesies Passer montanus malaccensis, yang diteliti oleh Alphonse Dubois pada 1885.

Pada bulan-bulan ini, saat bunga-bunga kuning akasia mulai muncul, populasi burung gereja di depan kamar saya semakin bertambah. Secara alami, terbentuk simbiosis mutualisme antar spesies. Pohon akasia yang beranting-ranting rupanya menjadi tempat bersarang dan bertelur yang nyaman bagi burung gereja, sekaligus sebagai suplai makanan selama musim pembuahan. Burung gereja merupakan pemakan biji-bijian, namun saat musim pembuahan mereka biasa mendapatkan makanan dari insekta, yaitu semut. Sementara itu semut mendapatkan makanan yang berasal dari getah tangkai daun akasia.

Pohon akasia sendiri menjadi peneduh di depan kamar saya. Menurut penelitian, pohon ini mampu menyerap karbon dioksida hingga 48,68 kilogram per pohon setiap tahunnya. Implikasinya pada hawa sejuk sekaligus menjadi penghasil oksigen dalam siklus karbon. Sejak tiga tahun lalu ketika saya mulai kuliah, secara tidak langsung kami bertukar karbon dioksida dan oksigen.

Setiap pagi di pertengahan tahun, saya menjadi pengamat dari simbiosis kecil di depan kamar saya. Suara kicau dan cericit burung gereja seringkali membangunkan saya ketika hari masih petang, yang akhirnya menimbulkan ketertarikan tersendiri untuk menikmatinya barang sebentar.

Rupanya bulan-bulan ini merupakan musim kawin dan bertelur. Burung gereja berterbangan setiap siang, melintas di jendela kamar saya sambil membawa ranting kecil dan rumput kering di paruhnya. Rupanya mereka sedang membangun sarang. Sarang burung gereja terbuat dari runput-rumputan dan bahan lainnya serta dilapisi dengan bulu, yang dapat meningkatkan insulasi panas. Mereka biasanya bertelur sebayak 5 hingga 6 butir. Burung jantan dan betina kemudian bergantian menginkubasi telur selama 12 - 13 hari hingga menetas. Umur burung ini bervariasi, umur maksimum yang pernah dicatat adalah 13,1 tahun, tapi secara umum berkisar antara 3 tahun.

Sebagian besar populasi burung ini akan kembali ke utara setelah musim kawin, bersama burung gereja kecil yang baru menetas. Sebagian besar mungkin mati karena seleksi alam. Sebagian kecil lainnya akan bertahan melewati Indonesia, khatulistiwa hingga tiba di pesisir China dan Semenanjung Korea.

Seiring pergantian bulan, kondisi simbiosis ini akan berganti. Kesetimbangan ekosistem akan menyesuaikan diri kembali. Bulan-bulan ini adalah saat-saat saya menikmati surga kecil yang sederhana namun bermakna. Ketika musim berganti, pohon akasia akan kembali hijau, burung pipit (finch) akan menggantikan sebagian besar populasi yang bersarang di pohon ini. Seperti hukum semesta, yang tak berubah hanyalah perubahan. Nantinya saya mungkin akan merindukan cericit burung gereja, merindukan bunga-bunga kekuningan dari akasia. Diam-diam saya berharap semoga musim tidak berganti terlalu cepat, supaya surga kecil ini bisa bertahan agak lama.
Semoga.




*) Gambar dipinjam dari sini dan sini

Comments

  1. Burung gereja mengingatkan gue akan kedamaian yang sederhana..
    Gak perlu muluk, gak perlu juga musik dengan nada tinggi bervokal sopran..
    Kicauan mereka cukup buat suasana jadi tenang.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts