Mahasiswa di Persimpangan Zaman


Resensi ini diterbitkan di Majalah "Blue Lantern Engineering Magazine" Edisi II/2010
Judul : Soe Hok-gie ...Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis : Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Universitas Indonesia, ILUNI Universitas Indonesia, dan KOMPAS
Cetakan : II, Januari 2010
Tebal buku : xi + 512 halaman
“Hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah, dan hadapilah”
Soe Hok-gie (1942-1969)

Sebuah fragmen dari puisi berjudul Mandalawangi-Pangrango di atas mengantarkan kita menyelami sosok Soe Hok-gie. Bagi Anda yang dekat dengan dunia politik, tentu tak asing dengan nama satu ini. Buku hariannya sempat diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (Jakarta: LP3ES, 2005), kisah hidupnya pernah diangkat menjadi sebuah film berjudul GIE (Miles Production, 2005).
Soe Hok-gie adalah seorang aktivis dekade 1960an, seorang demonstran yang mengkritik pemerintahan Orde Lama yang korup dan tidak berpihak pada rakyat. Di sisi lain, Soe Hok-gie tak berbeda dengan mahasiswa lainnya yang gemar berdiskusi, pesta, jatuh cinta, dan naik gunung. Soe Hok-gie gemar membaca buku, berbagai karya sastra dunia dilahapnya mulai dari karya-karya Mochtar Lubis sampai 1984 karya George Orwell (halaman 280).



Soe Hok-gie adalah seorang Indonesia sejati. Meskipun berdarah keturunan Tionghoa, ia telah menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Ini diungkapkannya saat jawatan imigrasi meminta surat persetujuan Dwi Kewarganegaraan: saya tidak pernah berpikir sedetik pun, bahwa saya bukan bangsa Indonesia, tiba-tiba harus membuktikan bahwa saya adalah warga negara Indonesia (halaman 485).
Buku ini terbagi dalam 5 bagian, yang masing-masing bagiannya mengisahkan Gie dalam kacamata yang berbeda. Bagian pertama berjudul Antar Hok-gie dan Idhan ke Atas menceritakan hari-hari terakhir kehidupan Soe Hok-gie. Gie yang hobi memanjat gunung akhirnya meninggal di usia muda akibat kecelakaan di Gunung Semeru. Firasat ‘mati muda’ rupanya sudah dirasakannya jauh sebelum kecelakaan ini terjadi. Di buku hariannya ia pernah mengutip seorang filsuf Yunani: nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda (halaman 106).
Bagian kedua berjudul Kisah Soe dan Semeru menceritakan hari-hari setelah Gie tiada. Dikisahkan pula bahwa berita kepergiannya mendatangkan respon yang beraneka ragam. Seorang penjual peti mati di Malang menyumbangkan peti mati untuk Gie. Ia mengenalnya melalui tulisan-tulisan Gie di koran-koran mengenai nasib rakyat kecil (halaman 69). Di luar negeri, kematian Gie juga tak luput dari pemberitaan (halaman 93).
Sisi lain seorang Gie dikupas dalam bagian ketiga Saksi-saksi Rawamangun-Salemba. Bagian ini membahas mengenai Gie sebagai anak gaul tahun 1960an yang punya julukan “cina kecil” di kampusnya. Ada pula kisah cinta Gie dengan beberapa wanita yang akhirnya ‘kandas’ di tengah jalan. Yang paling mengharukan adalah sepuluh surat dari teman dekat Gie dalam bab Surat Terbuka Ker buat Gie. Kisah cinta ini pun harus berakhir karena perbedaan ras. Dalam suratnya, Kartini Sjahrir mengungkapkan: saya seorang Batak, anak perempuan tertua, dan keluarga saya tergolong rada kolot. Kamu orang Cina, udah gitu nggak kaya, cuma seorang intelektual, dianggap jadinya nggak punya masa depan (halaman 153) atau: makanya saya suka heran ya Gie, kok kita membeda-bedakan orang antara pribumi dan nonpri. Padalah asal rasnya sama (halaman 154).
Bagian keempat berjudul Tulisan dari “The Angry Young Men”, menitikberatkan pada sudut pandang generasi ‘setelah Gie’ dalam menginterpretasikan pandangannya mengenai sosok aktivis ini. Soe Hok-gie sejak remaja sudah tergelitik untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Dalam buku hariannya ia menulis: Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua... (halaman 291). Kutipan itu ditulisnya saat usia 17 tahun. Bayangkan, 17 tahun! Renungan Gie di halaman selanjutnya menunjukkan keberanian yang naif: saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa, tapi seorang yang ingin selalu mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi, juga ketidak populeran. Ada sesuatu yang lebih besar: kebenaran (halaman 311-312).
Bagian terakhir menampilkan Soe Hok-gie sebagai seorang penulis kolom koran. Bagian berjudul Karangan dari Kamar Suram Bernyamuk menghadirkan beberapa tulisan Gie yang sempat terbit di koran nasional maupun dari dokumentasi keluarga. Tulisannya kebanyakan menyorot mengenai ketidakadilan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Beberapa mengupas mengenai Gie dan hubungannya dengan dosen-dosen yang bolos seenaknya: kalau kita berani melawan Soekarno dan jenderal-jenderal korup, masakan kita takut melawan dosen-dosen yang ngawur (halaman 481).
Terlepas dari semua kacamata yang membingkai, kisah Soe Hok-gie menjadi renungan bagi kita terhadap sikap kita memandang kebenaran, perbedaan ras, dan pembelaan kita pada kaum lemah. Seorang Gie adalah seorang yang selalu mempertanyakan segala sesuatunya, untuk kemudian dikontemplasikannya kembali dalam keheningan-keheningannya. Empat puluh tahun setelah kepergiannya, masihkah mahasiswa di era modern ini berpikir sekritis Gie? Mari kita renungkan bersama.
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang,
Soe Hok-gie, Oktober 1968

Comments

Popular Posts