Catatan tentang Cita-Cita
Mempertanyakan tentang cita-cita bagi saya ibarat mengorek-ngorek halaman depan buku kehidupan saya. Saya masih ingat saat pertama kali ditanya tentang cita-cita. Jawaban saya standar: dokter. Seperti anak-anak lain yang memandang dunia hanya hitam dan putih dan cita-cita mereka yang seragam: dokter, ingin jadi seperti Pak Habibie, insinyur, dan lain-lainnya.
Semasa kecil saya sangat akrab dengan dokter. Beberapa penyakit saya alami saat kecil dan membuat saya seringkali harus berkunjung ke dokter. Dokter bagi saya [saat itu] adalah orang bijaksana yang bisa menyembuhkan sakit apapun hanya dengan senyuman. Saya seringkali kagum dan terpana memandang seorang dokter. Bagi anak kecil seperti saya saat itu, dokter adalah seorang protagonis.
Beranjak dari situ, semasa SD saya mulai berubah pandangan. Saya ingin jadi pelukis. Saya sempat mengikuti beberapa lomba menggambar dan saat itu didukung oleh orang tua saya. Melukis bagi saya ibarat menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna. Dari kecil saya sudah idealis :-). Seperti anak-anak lain, praktis lukisan saya hanya berupa gunung kembar dengan jalan di tengahnya, kemudian ada rumah di sisi kiri jalan dan sawah di kanan jalan. Itulah satu-satunya tipe lukisan saya. Konstan, dan saya memperbaikinya hari demi hari. Menggambar gunung kembar lainnya, memindah rumah ke sebelah kanan, mengubah sawah menjadi danau, menambahi tiang listrik ataupun rel kereta api.
Maju sedikit lagi, semasa SMP cita-cita saya berubah drastis. Membayangkan dunia kerja bagi saya adalah sebagai shopkeeper [I don’t know what we say in Indonesian, but ‘penjaga toko’ is not fit]. Seperti karyawan Alfamart, Indomaret atau sejenisnya [saya tidak dibayar maupun berafiliasi secara komersil dengan produsen atau produk yang saya sebutkan]. Saya ingin jadi seorang shopkeeper. Titik, tak peduli dunia bilang apa. Rasanya kok mengasyikan sekali, berangkat dari rumah bersepeda, bekerja, kemudian pulang rumah menjelang malam, lalu istirahat.
Saat menginjak SMA saya mulai berpandangan lain mengenai cita-cita. Tak lagi berdasarkan keinginan semata. Kali ini rasio saya cukup berperan menentukan masa depan saya. Saya sudah membahas mengenai pilihan saya untuk kuliah di Jurusan Teknik Kimia di postingan sebelumnya ‘Catatan tentang Teknik Kimia Part I’. Bagaimana hati saya menentukan pilihannya pada Kimia.
Ada satu cita-cita terpendam yang baru saya sadari belakangan ini. Cita-cita saya adalah jadi penulis [dan engineer tentu saja]. Saya menganggap bahwa engineer adalah cita-cita otak kiri saya dan penulis adalah cita-cita otak kanan saya. Saya ingin menerbitkan buku. Itu saja. Tanpa embel-embel menang Pulitzer ataupun Sayembara DKJ. Saya hanya ingin menulis buku.
Saya menyadari akhir-akhir ini bahwa saya sudah bisa menulis cerita pendek sejak SD. Menemukan kembali naskah lama yang kertasnya sudah lapuk seperti perkamen kuno berjudul ‘Menabung Itu Penting’. Naskah pertama saya yang saya tulis tahun 2001, bercerita tentang seorang anak bernama Wayan yang hobi melukis dan akhirnya berhasil menjual lukisannya.
Saat SMP saya sempat memenangi loma cerpen remaja dengan karya berjudul ‘Antara Kau dan Aku’ yang bercerita mengenai kesenjangan sosial yang diangkat dalam tema remaja. Seorang tokoh bernama Jordan, anak dari ayah seorang sopir dan ibu seorang penjahit yang bersahabat dengan Peter, anak seorang pengusaha sepatu.
Sejak saat itu saya sering menulis. Artikel, cerita pendek—panjang, tamat—gantung, buku harian, dan puisi. Saat SMA saya melahirkan ‘Lopheromon’ dan versi asli dari ‘Lovaccino’ yang belum tamat, beberapa skenario untuk film proyek tugas akhir. Saat itu saya masih terpengaruh dengan teenlit yang sempat ‘membumi’ di kalangan remaja.
Memasuki zaman kuliah, selama dua tahun ini saya berkenalan melalui karya dengan beberapa penulis hebat: Dee, Sindhunata, J.K Rowling, Andrea Hirata, JRR Tolkien, serta beberapa karya masterpiece mereka.
Pandangan saya berubah sejak membaca Supernova. Ada perbedaan cara memandang dunia. Tak lagi cengen dan ingusan, Supernova memandang dunia dari segi personal, melibatkan hati dan pikiran pribadi. Spirit kontemplasi [perenungan] saya dapatkan ketika membaca karya-karya Dee serta ‘Laskar Pelangi’nya Andrea Hirata.
Beberapa teman bilang saya aneh karena cinta saya yang amat mendalam pada Supernova. Saya sadar jika saya aneh. Makanya saya ingin jadi penulis. Kata orang, menjadi penulis adalah orang-orang terpilih yang biasanya memiliki kebiasaan yang tidak lazim. Aneh.
Saya memang aneh. Jika orang lain memandang jeruk hanya sebagai buah, saya memandangnya hingga ke dalamnya, bagaimana bentuk kulitnya, apa warnanya, bagaimana jika ia dikupas, bagaimana bentuk pohonnya.
Saya selalu tertarik dengan hal-hal kecil dan ‘sepele’. Saya selalu ingin menganalisa sesuatu hingga sisi terdalam, menggali segala sesuatu hingga saya menemukan ‘sesuatu’ di dalamnya. Lalu menyampaikan apa yang saya dapatkan dari pencarian itu.
Beberapa pembaca menemukan perbedaan antara ‘Lopheromon’ dan ‘Spasi Koneksi’. Lopheromon yang dengan ceria menggambarkan kisah anak SMA hanya dari kulit luar, sedangkan Spasi Koneksi yang berupa kontemplasi hingga membuat pembaca berpikir lebih keras, menggali segala sesuatu lebih dalam. Saya menganggapnya sebagai perubahan pola pikir yang kian dewasa. Bukan lagi ABG yang nonton bareng atau main basket, namun beralih menjadi manusia yang berpikir ke dalam dan ke luar, menyibak segala sesuatu yang belum terungkap dari kehidupan.
Saya menyadari profesi penulis tidak menjanjikan jika kita bicara dalam skala Indonesia. Tapi saya menjalaninya bukan sebagai profesi, saya menjalaninya sebagai panggilan hidup.
Semasa kecil saya sangat akrab dengan dokter. Beberapa penyakit saya alami saat kecil dan membuat saya seringkali harus berkunjung ke dokter. Dokter bagi saya [saat itu] adalah orang bijaksana yang bisa menyembuhkan sakit apapun hanya dengan senyuman. Saya seringkali kagum dan terpana memandang seorang dokter. Bagi anak kecil seperti saya saat itu, dokter adalah seorang protagonis.
Beranjak dari situ, semasa SD saya mulai berubah pandangan. Saya ingin jadi pelukis. Saya sempat mengikuti beberapa lomba menggambar dan saat itu didukung oleh orang tua saya. Melukis bagi saya ibarat menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna. Dari kecil saya sudah idealis :-). Seperti anak-anak lain, praktis lukisan saya hanya berupa gunung kembar dengan jalan di tengahnya, kemudian ada rumah di sisi kiri jalan dan sawah di kanan jalan. Itulah satu-satunya tipe lukisan saya. Konstan, dan saya memperbaikinya hari demi hari. Menggambar gunung kembar lainnya, memindah rumah ke sebelah kanan, mengubah sawah menjadi danau, menambahi tiang listrik ataupun rel kereta api.
Maju sedikit lagi, semasa SMP cita-cita saya berubah drastis. Membayangkan dunia kerja bagi saya adalah sebagai shopkeeper [I don’t know what we say in Indonesian, but ‘penjaga toko’ is not fit]. Seperti karyawan Alfamart, Indomaret atau sejenisnya [saya tidak dibayar maupun berafiliasi secara komersil dengan produsen atau produk yang saya sebutkan]. Saya ingin jadi seorang shopkeeper. Titik, tak peduli dunia bilang apa. Rasanya kok mengasyikan sekali, berangkat dari rumah bersepeda, bekerja, kemudian pulang rumah menjelang malam, lalu istirahat.
Saat menginjak SMA saya mulai berpandangan lain mengenai cita-cita. Tak lagi berdasarkan keinginan semata. Kali ini rasio saya cukup berperan menentukan masa depan saya. Saya sudah membahas mengenai pilihan saya untuk kuliah di Jurusan Teknik Kimia di postingan sebelumnya ‘Catatan tentang Teknik Kimia Part I’. Bagaimana hati saya menentukan pilihannya pada Kimia.
Ada satu cita-cita terpendam yang baru saya sadari belakangan ini. Cita-cita saya adalah jadi penulis [dan engineer tentu saja]. Saya menganggap bahwa engineer adalah cita-cita otak kiri saya dan penulis adalah cita-cita otak kanan saya. Saya ingin menerbitkan buku. Itu saja. Tanpa embel-embel menang Pulitzer ataupun Sayembara DKJ. Saya hanya ingin menulis buku.
Saya menyadari akhir-akhir ini bahwa saya sudah bisa menulis cerita pendek sejak SD. Menemukan kembali naskah lama yang kertasnya sudah lapuk seperti perkamen kuno berjudul ‘Menabung Itu Penting’. Naskah pertama saya yang saya tulis tahun 2001, bercerita tentang seorang anak bernama Wayan yang hobi melukis dan akhirnya berhasil menjual lukisannya.
Saat SMP saya sempat memenangi loma cerpen remaja dengan karya berjudul ‘Antara Kau dan Aku’ yang bercerita mengenai kesenjangan sosial yang diangkat dalam tema remaja. Seorang tokoh bernama Jordan, anak dari ayah seorang sopir dan ibu seorang penjahit yang bersahabat dengan Peter, anak seorang pengusaha sepatu.
Sejak saat itu saya sering menulis. Artikel, cerita pendek—panjang, tamat—gantung, buku harian, dan puisi. Saat SMA saya melahirkan ‘Lopheromon’ dan versi asli dari ‘Lovaccino’ yang belum tamat, beberapa skenario untuk film proyek tugas akhir. Saat itu saya masih terpengaruh dengan teenlit yang sempat ‘membumi’ di kalangan remaja.
Memasuki zaman kuliah, selama dua tahun ini saya berkenalan melalui karya dengan beberapa penulis hebat: Dee, Sindhunata, J.K Rowling, Andrea Hirata, JRR Tolkien, serta beberapa karya masterpiece mereka.
Pandangan saya berubah sejak membaca Supernova. Ada perbedaan cara memandang dunia. Tak lagi cengen dan ingusan, Supernova memandang dunia dari segi personal, melibatkan hati dan pikiran pribadi. Spirit kontemplasi [perenungan] saya dapatkan ketika membaca karya-karya Dee serta ‘Laskar Pelangi’nya Andrea Hirata.
Beberapa teman bilang saya aneh karena cinta saya yang amat mendalam pada Supernova. Saya sadar jika saya aneh. Makanya saya ingin jadi penulis. Kata orang, menjadi penulis adalah orang-orang terpilih yang biasanya memiliki kebiasaan yang tidak lazim. Aneh.
Saya memang aneh. Jika orang lain memandang jeruk hanya sebagai buah, saya memandangnya hingga ke dalamnya, bagaimana bentuk kulitnya, apa warnanya, bagaimana jika ia dikupas, bagaimana bentuk pohonnya.
Saya selalu tertarik dengan hal-hal kecil dan ‘sepele’. Saya selalu ingin menganalisa sesuatu hingga sisi terdalam, menggali segala sesuatu hingga saya menemukan ‘sesuatu’ di dalamnya. Lalu menyampaikan apa yang saya dapatkan dari pencarian itu.
Beberapa pembaca menemukan perbedaan antara ‘Lopheromon’ dan ‘Spasi Koneksi’. Lopheromon yang dengan ceria menggambarkan kisah anak SMA hanya dari kulit luar, sedangkan Spasi Koneksi yang berupa kontemplasi hingga membuat pembaca berpikir lebih keras, menggali segala sesuatu lebih dalam. Saya menganggapnya sebagai perubahan pola pikir yang kian dewasa. Bukan lagi ABG yang nonton bareng atau main basket, namun beralih menjadi manusia yang berpikir ke dalam dan ke luar, menyibak segala sesuatu yang belum terungkap dari kehidupan.
Saya menyadari profesi penulis tidak menjanjikan jika kita bicara dalam skala Indonesia. Tapi saya menjalaninya bukan sebagai profesi, saya menjalaninya sebagai panggilan hidup.
Sebuah kehormatan bagi saya untuk dpat mengungkapkan apa yang belum terungkap dari hidup. Mengindrai segala yang ada, kemudian membawanya dalam perenungan.
Menulis saya anggap sebagai dunia lain, tempat saya melarikan diri dari hal-hal berbau science. Saat saya berpikir tentang Teknik Kimia, saya hanya mengandalkan hati, dan ini satu-satunya cara agar hati saya tidak tumpul.
Saya cinta menulis. Saya Aneh
Comments
Post a Comment