Uli yang Bukan Pisang
Tadinya satu-satunya yang ada di kepala saya tentang Jambi adalah Kompleks Candi Muaro Jambi, yang terluas di Indonesia. Dalam bayangan saya, orang Jambi adalah suku Anak Dalam, yang saya baca dalam buku Sokola Rimba karya Butet Manurung. Tapi seorang gadis Batak mengubah pandangan saya. Bukan Butet Manurung, melainkan Uliyasi Simanjuntak. Artikel ini akan membahas mengenai kesan personal saya terhadap Kak Uli, sahabat, kakak, teman ngobrol, dan salah satu 'guru' saya, both in knowledge and in spiriual:
Ia muncul seperti hantu, dengan rambut keritingnya, hadir tiba-tiba diantara gerombolan kami (GT #28). Tak ada tanda-tanda, bahkan namanya tak ada dalam daftar peserta training hari itu. Waktu itu sekitar awal Desember 2012. Namanya Uliyasi Simanjuntak. Dia hadir terlambat, memakai kemeja warna merah, lalu duduk dua bangku di sebelah saya. Tak lama kemudian ia memperkenalkan diri: "Nama saya Uli, dari CorpCom, lulusan Hubungan Internasional UNRI, asal Jambi". Darimana? Dari kompor? pikir saya, sambil melirik rambut keritingnya dan kulitnya yang sawo matang. CorpCom, yang waktu itu asing di telinga saya, adalah singkatan dari Corporate Communications Department.
Kalau saya dipaksa mendeskripsikan kesan pertama bertemu dengannya, hanya ada dua kata sifat di kepala saya: keriting dan sawo matang. Saya kira ia Orang Rimba karena -sebagaimana Suku Anak Dalam- namanya agak asing: Uli, kayak pisang uli. Dan ia dari Jambi. Dang! Pas!
Kami memanggilnya Kak Uli, karena usianya terpaut satu tahun di atas saya, dia juga tergolong senior karena masuk kerja lebih dulu dibanding kami. Setelah memperkenalkan diri ia lalu duduk, dan menyempatkan diri tersenyum sambil bersalaman dengan saya. Sejak itu kami berkenalan, ia tetap datang terlambat setiap training. Masuk tiba-tiba tanpa rasa bersalah, kemudian tersenyum setengah.
Uliyasi, si cewek Batak yang lahir di Jambi, fasih berbahasa Sunda, dan sedikit tahu bahasa Korea. Bahasa Sunda dipelajarinya sejak kecil, sementara bahasa Korea dipelajarinya dari beberapa teman selama bergabung di NGO. Di balik rambut keritingnya ternyata tersimpan ilmu sejagad mengenai dunia global: sosialisme Korea Utara, Marxisme, Krisis Yunani, Uni Eropa, Fidel Castro, sengketa perbatasan Indonesia-Malaysia, sampai isu lokal terhangat mengenai Jokowi dan Tri Rismaharini, bahkan K-Pop. Dia adalah manusia paling mengasyikan untuk diajak ngobrol ini itu. Sejak saat itu ia menempati kotak pertemanan yang saya klasifikasikan sebagai 'rare and limited edition'.
Saya sedang cuti dan di tengah perjalanan ketika pesan yang dikirimkan Kak Uli tiba, 'Kamis ngumpul yuk. Poto-poto,".
Pikiran awal saya adalah diajak foto-foto untuk materi Public Messenger. Tadinya saya kira ia butuh foto untuk ilustrasi liputannya, yang entah tentang apa. Maka saya bertanya, ada apa hari Kamis... Tak sampai semenit datanglah balasannya, 'Aku kan mau resign, Jo. Terakhir disini hari Senin,'
What? Sesuatu yang besar sedang terjadi. Kak Uli, yang tadinya kelihatan asyik dengan pekerjaannya meliput berita, mengantar visitor untuk sightseeing, bikin artikel di Public Messenger, mengkliping kolom koran, sambil mengikuti perkembangan terbaru berita dalam dan luar negeri, akhirnya resign. Satu hal yang ada di benak saya saat itu adalah pertanyaan Kak Uli: "Kira-kira apa yang akan Johan tulis saat aku resign ya?".
Serentak segala kenangan kami meneror saya. Hampir dua tahun mengenalnya, sudah berjilid-jilid kenangan tertulis. Bayangan-bayangan hitam putih ala sinetron tiba-tiba menyerbu. Uli, manusia aneh berambut keriting akhirnya memutuskan angkat kaki dari Riau, sesuatu yang sebelumnya saya anggap mustahil.
Saya masih ingat keramahannya dan kepolosannya yang membuat ngobrol bersamanya terasa intens dan berkualitas. Dalam sepekan ia berubah menjadi teman berbagi ilmu, pengalaman, serta trivia-trivia, mengingat bidang yang kami gemari hampir sama: jurnalistik dan media. Sepekan setelah kami bertemu, kami kembali satu kelompok di program Mental Building. Yang saya ingat adalah ketika kami bermain paint ball, semacam simulasi perang lengkap dengan baju ala militer dan senapan berisi peluru. Dengan sok seriusnya kami mengatur strategi, dan kebetulan kami berdua ditempatkan sebagai penjaga benteng, posisi bertahan untuk menjaga bendera. Dengan semangatnya kami mengawasi benteng, sambil berlagak ala bintang film action, tak lupa berguling-guling karena berani kotor itu baik. Sayangnya, tak ada lawan yang menyerbu benteng pertahanan kami. Lama-lama kami bosan dan akhirnya ngobrol di balik rongsokan mobil-mobil. Saking bosannya, kami bahkan tidak sadar saat game usai dan tim penyerang kami akhirnya menang. Tak ada satu peluru pun yang kami tembakkan. Bendera kami aman, benteng kami terjaga. But we do nothing, just talking :)
Selama masa training, ia masih sering terlambat. Bahkan ke area Nursery di Pelalawan pun harus diantar mobil department karena tertinggal. Tapi ia rajin mencacat materi meskipun tak mengerti. Kak Uli juga rajin bertanya dan berusaha mengerti hal-hal di luar bidangnya, yang kebanyakan berbau teknis. Kak Uli akhirnya kami lantik menjadi semacam jembatan penghubung antara email internal (intranet) dengan email luar. Hanya ia yang punya akses untuk mengirim secara 2 arah, sementara email kami terproteksi. Maka tak heran kalau di masa awal kerjanya, sering kami sibukkan dengan forward email ini itu, file-file tugas, foto-foto, dan slide-slide training untuk kepentingan internal. Selain itu karena Kak Uli punya akses fotokopi tanpa batas, ia juga sering kami titipi berjilid-jilid materi training untuk difotokopi. Ia adalah penghubung kami dengan dunia luar, ia memang pendatang di angkatan GT #28 tapi ia memegang peranan yang cukup sentral.
Belakangan kami memang jarang bertemu secara langsung karena perbedaan area dan jadwal kerja, tapi kami masih sering ngobrol ini itu lewat media whatsapp atau blackberry mesenger. Kalau akhirnya ia memutuskan untuk pindah, tentu kami merasa kehilangan. Tak ada lagi yang bisa kami repotkan untuk forward email, tak ada lagi yang bisa kami mintai info tentang corporate, tak ada lagi yang memforward artikel majalah Tempo spesial untuk saya.
Tentunya masih banyak kenangan yang kami alami, yang saya tuliskan disini barangkali hanya secuil dari sejagad pengalaman personal saya selama mengenalnya.
Pada akhirnya, untuk memuaskan keingin tahuan saya, saya menyempatkan diri untuk bertanya: "Kenapa pindah?"
"To reach up my passion," jawabnya.
Setiap orang punya mimpi, semua orang punya cita-cita dan imaji tentang sesuatu yang ideal. Semua berujung pada keberanian kita untuk berjuang, dan yang lebih penting: keberanian untuk memulai. Ibarat pepatah Lao-Tzu: The journey of a thousand miles begins with one step.
Minggu depan, Kak Uli akan memulai perjalanannya ke Nusa Tenggara Timur, membuka episode baru kehidupannya di World Vision, a Chistian organization working to help communities lift themselves out of poverty. For good. Semoga apa yang dicita-citakannya tercapai, semoga di tempat yang baru ia bisa menyalurkan kehangatan dan keramahannya seperti misi komunitasnya: to change a child's world with a full solution to poverty and injustice, to help children, families, and communities reach ther God-given potential.
Kak Uli memberi semangat baru bagi saya untuk menggapai mimpi. Diam-diam saya berharap semoga pada waktu yang tepat, saya berani untuk memutuskan pindah, ke tempat yang baru. Menuju perjalanan meraih mimpi. Ia adalah guru saya yang mengajarkan tentang passion, cita-cita, percaya diri, dan semangat meraih mimpi. Wawasan dan pergaulannya yang luas menjadi teladan bagi saya. Such a blessing to know her, and to be able to take part in her life's episodes. My genuine thanks and gratefull for her, and best wishes for all her dreams.
P.S: Kami berjanji untuk bertemu di NTT suatu hari nanti.
*) Esai ini akan ada di buku esai yang sedang saya tulis: "Destiny, Happiness, and Soy Sauce"
**) Ditulis mulai tanggal 8 Oktober 2014, dan diselesaikan tanggal 24 Oktober 2014.
Comments
Post a Comment