Mencintai Bumi dengan ‘Diam’

Artikel ini diterbitkan di Majalah "Blue Lantern Engineering Magazine" Edisi II/2010



TAHUN lalu, film ‘2012’ yang disutradarai Roland Emmerich mencapai box office. Film ‘2012’ mengupas mengenai berbagai bencana yang meluluhlantakkan bumi dan menghapus sebagian besar populasi makhluk hidup yang diprediksikan terjadi pada tahun 2012. Bencana mahadahsyat perihal berakhirnya peradaban manusia tiba-tiba menjadi perbincangan global. Akankah kejadian-kejadian dalam film ‘2012’ menjadi kenyataan?

Akhir 2004, tsunami melanda Sumatera dan Asia Tenggara. Tahun 2005, Badai Katrina menghancurkan kota New Orleans dan badai Rita yang memporakporandakan Teluk Meksiko. Tahun 2007, gelombang panas melanda Amerika Serikat dengan rekor suhu mencapai 53°Celcius. Bulan Maret 2008, dunia dikejutkan dengan runtuhnya bongkahan es Wilkins seluas hampir 1,5 kali luas kota Surabaya. Dan entah serangkaian bencana apalagi yang akan dihadapi umat manusia.



Masihkah kita menutup mata dan pura-pura tidak mendengar sementara alam berteriak tanpa suara. Kita hanya perlu mendengarkan isyarat alam, bumi telah mengirimkan tanda-tandanya dengan serangkaian bencana yang terjadi.

Masihkah kita punya waktu untuk siap menghadapi hari akhir bumi sementara pemahaman dan usaha kita bergerak lamban seperti siput sedangkan alam mengamuk secepat kuda pacu? Dr. H.J. Zwally, seorang ahli iklim NASA memprediksikan bahwa hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada akhir musim panas 2012. Waktu kita sungguh tak banyak.

Mencairnya es di kutub akan mengakibatkan mencairnya deposit 400 miliar ton metana beku yang tersimpan dalam Antartika dan mengakibatkan terlepasnya gas metana ke atmosfer. Metana adalah gas dengan emisi rumah kaca 23 kali lebih ganas daripada gas karbondioksida. Gas metana akan mempercepat pemanasan temperatur bumi dan mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Serangkaian mata rantai yang saling membelit ini turut memperparah kondisi alam kita.

Graham Hancock dalam bukunya ‘Fingerprints of the Gods’ mendeteksi adanya peradaban modern yang diduga lebih canggih daripada peradaban kita pernah ada di muka bumi. Sphinx di Mesir, Poompuhar di bawah laut India, Tiahuanaco di Bolivia, Nazca di Peru, dan kompleks Piramida di Giza merupakan monumen peninggalan misterius dari peradaban canggih masa lalu. Kemanakah peradaban tersebut menghilang? Spekulasi yang paling masuk akal adalah zaman es, bencana mahadashyat yang menghapus hampir seluruh kehidupan di bumi.

Fakta sains mengungkap bahwa zaman es telah dialami bumi kita berulang kali. Jika bumi memang ditakdirkan untuk bersiklus, dan zaman es tidak dapat ditawar-tawar lagi, untuk apa bertindak?

Kalaupun bencana itu tidak bisa dicegah, setidaknya kita berusaha untuk menunda bencana itu datang lebih cepat, barangkali kita masih punya cadangan waktu untuk lebih bersiap menghadapi bencana katastropik ini.

Dalam buku ‘The Coming Global Superstorm’ karya Art Bell dan Whitley Strieber, yang kemudian diangkat menjadi film berjudul ‘The Day After Tomorrow’, ada sebuah skenario yang ditawarkan di sana. Caranya dengan menghentikan segala aktivitas pembakaran karbon di muka bumi selama beberapa hari. Dan tindakan ini harus dilaksanakan serempak dalam skala dunia. Artinya berhenti berlistrik, berhenti berkendara, dan berhenti berasap.

Pulau Bali telah menjalankan konsep ini pada Hari Raya Nyepi selama bertahun-tahun. Hari Raya Nyepi merupakan prosesi menyambut tahun baru yang sungguh tidak biasa jika dibandingkan dengan cara sebagian besar umat manusia di zaman modern ini merayakan tahun barunya. Satu pulau dengan serempak tenggelam dalam keheningan dan kontemplasi. Dari hasil penelitian diperkirakan bahwa Pulau Bali menghentikan emisi sekurangnya 20.000 ton karbondioksida selama Nyepi.

Bayangkan jika keheningan selama Nyepi berlangsung dalam skala satu negara bahkan skala global. Yang menjadi masalah adalah mungkinkah bumi ‘tertidur’ untuk sehari saja, sementara neraca perdagangan terus bergerak, bursa saham terus beranjak, dan roda ekonomi harus terus berputar?

Suatu hari, jika memang tidak bisa ditawar-tawar lagi, akankah ada artinya roda ekonomi jika bumi tak sanggup lagi bertahan? Saat itu, penduduk bumi harus terpaksa ‘berdiam’ untuk memundurkan cadangan waktu satu atau dua hari. Bukankah ironis jika untuk mengatasi pemanasan global, manusia hanya butuh untuk diam. Benar-benar diam. Bayangkan malam yang luar biasa tenang dan hening, pagi hari yang luar biasa segar, dan bayangkan manusia satu bumi akhirnya dipersatukan, bergerak dengan satu semangat untuk menyelamatkan rumahnya. Menyelamatkan bumi hanya dengan diam.

*)Referensi:
1. Global Warming, saduran Agus R dan Rudy S.
2. Blog Dee Idea, oleh Dewi Lestari
3. Fingerprints of the Gods oleh Graham Hancock
4. Intisari No. 508 edisi November 2005



**) Gambar dipinjam dari sini


Comments

Popular Posts