EKO-logi

Eko, berasal dari bahasa Yunani 'oikos' artinya rumah, yang kemudian diterima secara global sebagai 'Bumi'. Kata ini pula yang menjadi akar kata dari ekonomi, ekologi, ekosistem, dan eko-eko lainnya.

Bagi kami eko juga berarti Ari Eko Prasetyo alias Mas Eko, manusia Jawa asal Sragen, lulusan UNDIP yang akhirnya mencoba meraih mimpi di pedalaman hutan akasia. Tulisan ini akan membahas mengenai EKO-logi, seorang Mas Eko dari sudut pandang saya dan inspirasinya tentang kesederhanaan dan kesabaran.

Saya bertemu dengannya tanggal 2 Desember tahun lalu. Dan selama setahun ini membuat saya merasa 'feels like home' dengan logat Jawanya yang kental meskipun kami berada ribuan kilometer jauhnya dari Jawa. Dengan serta merta saya memberinya julukan Mas Eko. Karena ada dua ari-ari di angkatan 28, saya mencomot nama tengahnya agar tak sering salah panggil dengan Arie Andi, plus tambahan 'Mas' karena umurnya relatif lebih tua daripada kami dan pemikirannya relatif bijak seperti bapak-bapak :)



Awalnya kami saling bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, yang entah mengapa terasa janggal di telinga saya. Kami sama-sama dari Jawa dan logat medoknya yang renyah gurih selalu membuat saya tergoda untuk membiasakan berbahasa Jawa dengannya.

Dia pribadi yang hangat, karena membuat saya -yang agak canggung ini- cepat beradaptasi dan kenal lebih dekat. Kebetulan ia menghuni kamar di depan kamar saya, jadi setiap pagi kami selalu sempat menyapa sebelum berangkat. Seiring waktu berjalan, saya mengenalnya sebagai pribadi dengan arogansi nyaris nol, ia yang dengan senang hati menerima apa yang didapat dan diberikan kepadanya tanpa tuntutan ini-itu. Ketika akhirnya kami masuk dalam satu departemen, saya mengenalnya lebih dekat sejak interview bersama.

Selama 6 bulan pertama di departement, bisa dikatakan setiap hari kami bertemu untuk mempelajari struktur kayu, klasifikasi chips, hingga moisture content dari final pulp sheet. Kami pernah jalan-jalan ke log inspector pos 8, naik ke atas cooling tower wastewater treatment, hingga menelusuri conveyor woodyard yang malang melintang. Kenangan itu masih ada dalam benak saya, dan proses kami bertumbuh menjadi manusia dengan pengetahuan yang bertambah setiap harinya membuat kami merasa akrab. Saya terkesan cara berjalannya yang mirip semar dan sering saya juluki goyang itik, dan sepertinya kenangan itu yang akan menjadi satu-satunya yang saya ingat dari Mas Eko ketika saya mendadak amnesia :p

Ia punya segudang mimpi tentang masa depan. Saya masih ingat bahwa ia pernah punya harapan untuk tinggal menetap dalam waktu lama dan berumah tangga. Sejak itu saya yakin, mungkin ia salah satu yang bakal bertahan lama di perantauan dibandingkan kami-kami yang belum sempat membuat rencana masa depan.

Mas Eko cenderung introvert. Bisa dikatakan jarang ia curhat membicarakan masalah pribadinya, keluarga, atau kisah cintanya dengan Keong Gesit. Kami lebih banyak membahas masalah akasia dan kayu cabang yang makin lama terasa rumit, berbelit, dan bikin perut melilit.

Saya akhirnya sedikit terlambat menyadari bahwa ketertarikannya di department semakin lama semakin tipis. Sejak project yang digagasnya akhirnya tak berjalan sesuai rencana, ia bingung sendiri. Sementara itu, setelah kami akhirnya masuk program spesialisasi, saya makin jarang bertemu dengannya karena area concern kami yang berbeda. Dia di wood log quality dan saya di wastewater treatment. Setelah saya menyadari bahwa ia sedang dalam periode galau, saya menahan diri untuk tidak bertanya, meskipun hati saya kepo. Saya berusaha untuk tidak ikut campur dalam kegalauannya, saya cenderung menunggunya untuk memulai curhat, alih-alih memberikan justifikasi yang malah membebaninya. Saya berusaha membantunya untuk bangkit, mencari cara untuk membuatnya bertahan. Tapi mungkin cara pandang saya salah dalam menilai berat-ringan masalahnya, mungkin saya lalai bahwa manusia punya prinsip dan jalan pikiran yang berbeda-beda, mungkin saya yang tidak paham betul tingkat kesulitan yang ia hadapi lebih dari yang saya bayangkan.

Mas Eko kemudian bergulat sendiri dalam periode masa gelap itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menyerah, 'mulih wae' (pulang saja), katanya. Sejak itu ia semakin jarang terlihat, dan semakin sering bolak-balik Jawa. Ia kemudian kembali untuk menyelesaikan urusan administrasi dan memutuskan untuk pulang ke Jawa. Badannya makin gemuk, saya yakin ia bahagia dan keputusan yang diambilnya sudah tepat.

Saya paham dalam kehidupan ada yang datang dan pergi, tapi dengan segenap hati saya membenci perpisahan. Ketika ia akhirnya pergi, tentu saya saya merasa kehilangan, tapi sebelumnya saya sudah mempersiapkan diri untuk ini. Melihatnya pamit, kemudian memandang kamarnya yang kosong, saya terharu. Saya terharu karena ia berani memutuskan arah masa depannya. Saya percaya, seperti ia juga percaya bahwa ada rencana yang lebih baik untuknya sedang menunggu di Jawa. Ketika saya menulis ini, ia pasti sedang berada di pesawat.

Saya berterima kasih karena ia pernah hadir dari sekian banyak episode kehidupan saya. Ia yang mengajari saya untuk sabar dan rendah hati, ia yang menginspirasi saya untuk tetap ‘keep grounded’. Semoga saya juga berkesan untuknya dan mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga hanya kenangan indah yang tersisa hingga masa mendatang, yang meski remeh namun tetap membekas.
Untuk Mas Eko, semoga sukses untuk segala rencananya baik dalam karier maupun percintaan. Kami menunggu undangannya :)


*) Tulisan ini, menyusul bab tentang Tunggul akan ada di buku esai yang sedang saya tulis: "Destiny, Happiness, and Soy Sauce"

Comments

Popular Posts