Soliloquy


At one point in my life, I asked to myself: What should I do next?
What should I do after all this extraordinary 4 years will gone as memories. After all my dreams and strugle should be ended sweetly.

Mau tidak mau alur hidup harus berubah juga, karena perjuangan belum selesai, dan saya masih punya mimpi yang lebih menantang. Dan akhirnya saya memilih untuk pergi ke tempat yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Ke tempat dimana suara cicit burung masih terdengar sepanjang hari. Dimana bukit masih hijau dan angin pagi beraroma kayu dan perdu. Ke tempat dimana setiap hari saya bisa bertemu bule, dan bertemu orang sekampung terasa seperti mujizat. Disini, di tempat dimana tidak ada rujak, saya baru sadar bahwa bahasa Inggris bisa punya dialek yang beraneka ragam. Disini 'support' dilafalkan 'sapot', dan 'food court' jadi 'fut-kut'.

Disini saya adalah sebutir biji kacang yang siap untuk tumbuh. Disini saya membangun pondasi mimpi yang baru. Saya percaya bahwa ada energi eksternal yang menggerakkan saya hingga sampai pada titik ini. Keputusan ini saya ambil dengan penyerahan penuh pada semesta.

Disini ilmu digelar seperti selebrasi. Just open your eyes and mind, and you’ll get anything. Disini hidup berjalan teratur, dan semua orang punya kesadaran untuk tertib hukum. Disini saya ibarat hidup di surga kecil dimana saya bisa meditasi dan menikmati hidup dengan lebih intens.

Disini saya bahagia, disini Tuhan terasa dekat. Meskipun tak ada rujak, meskipun harus curi-curi waktu untuk menulis fiksi. Disini saya bahagia, dan sampai di titik ini saya akhirnya menjawab: This is my life, and I’m happy.

Comments

Popular Posts