Manusia Kaset



Saya bukan termasuk orang yang tahan untuk mengobrol panjang lebar dalam waktu yang lama. Apalagi kalau partner ngobrolnya orang yang suka memotong pembicaraan dan berbicara lebih panjang daripada saya. Kalau mendapat teman ngobrol yang seperti itu, biasanya saya malah jadi lebih pasif dan menanggapi sekedar “Oh ya? Terus?” atau “Ah, masa?”.

Obrolan yang menarik adalah obrolan yang berimbang. Yang disebut ngobrol itu artinya adalah timbal balik. Jadi kalau orang A berbicara sekian puluh kata, seharusnya orang B menanggapi sebanyak sekian puluh kata juga.

Tapi apesnya, dalam kehidupan ada orang-orang yang tidak asyik. Alih-alih ngobrol, malah jadi ajang macam seminar, satu orang berbicara terus sedang yang lainnya Cuma jadi pendengar. Orang semacam ini saya juluki Manusia Radio. Manusia Radio punya kelebihan dalam memperpanjang cerita. Mereka punya kemampuan untuk membuka cerita dengan memikat. Inti ceritanya satu, katakanlah M, namun ceritanya membentang dari A sampai Z sampai-sampai kita yang mendengar jadi bingung sendiri.

Lebih parah lagi Manusia Kaset. Orang jenis ini yang paling tidak asyik diajak ngobrol. Kalau kaset – iya, kaset yang ngetrend di era 90-an itu...yang kalau mau cari lagu yang tepat harus forward atau rewind – punya side A dan side B, Manusia Kaset juga. Maksudnya begini, jika seorang X mengobrolkan tentang sesuatu, si Manusia Kaset cenderung mencari antitesis dari pernyataannya. Lebih jelasnya dalam ilustrasi berikut.




Suatu hari, Tuan X dan Manusia Kaset (MK) pergi ke mall bersama.
X: “Eh, tadi filmnya bagus ya?”
MK: “Nggak juga, aktornya jelek gitu...”
X: “Aku tadi mau ngajak si Z, tapi BB-ku nggak ada sinyal.”
MK: “Makanya pake Android kayak hapeku. Hapeku ada sinyalnya terus...”
X: “Ah, lapar nih. Makan bakso yuk.”
MK: “Yuk,aku juga suka bakso.”
Setelah makan...
X: “Enak juga ya, baksonya...”
MK: “Lebih enak bakso yang kubeli kemarin, yang di perempatan pojok.”
X: “Ntar kita pulangnya naik angkot aja, biar lebih irit,”
MK: “Kamu aja yang naik angkot. Aku biasanya naik taksi.”
Sekian.


Mulai mengerti dengan apa yang saya maksud dengan Manusia Kaset? Manusia tipe begini punya anggapan bahwa seleranya, pilihannya, ataupun miliknya adalah paling benar. Dan kalau diprotes paling-paling mereka bilang, “Ah manusia kan punya selera yang beda-beda. Standarku kan lebih tinggi.”.

Saya punya dua orang teman Manusia Kaset. Dari pengamatan saya,mereka biasanya punya masalah personal (semacam narsisme dan kadang-kadang kurang pede, alias labil) atau dari lingkungan keluarga/sosialnya. Teman saya yang pertama dari keluarga broken home, dan punya kecenderungan agak narsistik. Teman yang kedua ini narsistiknya lebih parah, ia merasa dirinya spesial, seolah-olah dunia dan segala isinya cuma diciptakan untuknya. Atau lebih tepatnya, punya sindrom Miss Indonesia (semua mata tertuju padamu).

Kalau ngobrol dengan mereka, kadang saya jadi bingung sendiri dengan standar selera saya. Anehnya lagi, kadang selera mereka bisa berkebalikan 180 derajat. Begini ceritanya. Salah seorang Manusia Kaset teman saya mengajak makan mie pangsit yang menurutnya ‘enak sampai batas gila. Pangsitnya gede, kuahnya sedap. Pokoknya lebih enak dari mie pangsit yang pernah kamu makan’. Gobloknya, saya tertarik juga setelah mendengarkan presentasi ala SPG-nya. Maka pergilah kami berdua mengunjungi kedai mie pangsit tadi.

Tadinya saya pikir mie pangsit itu dijual di mall atau di rumah makan khusus macam kafe, tapi ternyata di sebuah warung pinggir jalan. Tapi okelah, saya juga anak warung. Alangkah terkejutnya saya ketika masuk ke dalam warung. Tidak ada pembeli lain alias sepi, yang ramai adalah lalat-latat berseliweran. Saya makin penasaran seberapa enaknya mie pangsit tadi, mengingat teman saya yang punya selera high-end sampai rela makan di warung  semacam ini. Saya sih oke-oke saya, saya kan anak warung.

Setelah pesan dan menunggu agak lama, datanglah dua porsi mie pangsit itu. Dalam hati saya berdoa, seakan-akan mau memakan buah pengetahuan. Mie pangsit ini pasti ‘enak sampai batas gila’, demikian pikir saya. Maka saya mempersiapkan diri jadi gila. Dengan khidmat saya masukkan mie pangsit itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut. Alakazam! Setelah makan saya pun setengah gila. Alih-alih lebih enak, mie pangsit itu adalah ‘makanan paling tidak enak yang pernah saya makan sejak hidup di Bumi’. Mienya terlalu matang, kuahnya pakai ekstra vetsin, pangsitnya alot kayak sandal jepit.

Tapi teman Manusia Kaset saya, sambil keringatan tersenyum dan berkata, “Apa saya bilang... Enak kan?”

Dengan berat hati saya mengangguk. Diam-diam saya merenung dalam hati apakah saya yang punya selera tinggi,atau jangan-jangan saya yang Manusia Kaset. Saya jadi bingung sendiri.



*) Gambar kaset dipinjam dari sini

Comments

Popular Posts