Jarak




Kamu pernah bilang sebelumnya bahwa suatu saat kita pasti berpisah. Aku bilang mana mungkin, lalu aku memeluk pundakmu. “Kita akan tetap bersama,” bisikku.

Aku membenci perpisahan. Lebih benci lagi ditinggalkan.

“Tapi ada saatnya kita akan jauh,” katamu lagi.

Aku memelukmu lebih erat, berharap kamu dapat merasakan hangat yang kukirimkan melalui pori-pori kulitku.

Mungkin firasatmu saat itu benar. Entah apa yang membuatku setengah percaya pada perkataanmu waktu itu. Akhirnya perpisahan itu terjadi juga. Akhirnya kamu terbang juga. Dengan bulat hati kamu memutuskan untuk meneruskan studi. Kamu tergila-gila untuk belajar. Satu hal yang tak pernah bisa kusaingi. Aku tahu kamu mencintaiku,  tapi kamu lebih cinta pada ilmu.



“Aku berangkat besok, Jo.” katamu di telepon.

“Hati-hati, jaga diri baik-baik,” sahutku. “Jangan sampai telat makan,”

Aku tahu kamu punya masalah lambung. Aku tahu kamu sering lupa makan setiap kali sibuk dengankegiatan-kegiatanmu.

“Kamu juga,”

Lalu diam. Hampir semenit sambungan telepon itu diam tak mengantarkan gelombang. Aku tahu kamu ragu. Aku mengerti jika kamu merasa bersalah sebagai orang yang pergi. Lebih mudah meninggalkan daripada ditinggalkan.

“Gimana keadaan disana?” tanyamu.

“Panas, kadang hujan. Cuaca sedang tidak menentu,” jawabku.

“Jangan sampai sakit! Jangan lupa minum vitamin dan pakai autan sebelum tidur,” saranmu.

“Besok terbang jam berapa?” aku mengalihkan pembicaraan, menghindari ceramahmu yang tak pernah surut setiap kali menyuruhku menjaga kesehatan.

“Jam delapan pagi dari Surabaya,” sahutmu. Lalu kamu berjanji, “Aku akan telepon kalau sudah sampai di Melbourne.”

“Maaf, aku nggak bisa mengantar,”

“Hmm, aku ngerti kok,”

Terima kasih untuk pengertiannya. Aku minta maaf sekali lagi, karena akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkanmu lebih dulu. Secara kebetulan, lamaranku untuk jadi jurnalis National Geographic diterima sehari setelah kamu bilang akan pergi. Mungkin itu sudah diatur oleh semesta. Dan kini aku sudah berada di hutan Borneo, meneliti sisa-sisa alam liar yang entah sampai kapan bisa bertahan.

Aku sempat ragu meninggalkanmu, tapi di sisi lain cepat atau lambat perpisahan itu akan terjadi juga. Entah aku atau kamu duluan yang harus pergi. Maka kuputuskan untuk pergi lebih dulu, karena sumpah demi apapun aku tidak mau jadi pihak yang ditinggalkan.

Besok kamu berangkat ke negeri orang. Kalau sekarang kita hanya berjarak ribuan kilometer, besok kita akan berjarak 3 zona waktu. Waktu di tempatku dan tempatmu tak akan sama lagi.

It’s okay. Selama kita masih punya keyakinan untuk tetap bersama,” katamu bijak.

Tapi jarak ini terlampau jauh untuk diukur. Bagaimana kita bersama, jika di antara kita terbentang samudra. Apakah kita seiring, jika zona waktu kita sudah tak lagi sama. Masih bisakah kita sama-sama bertahan pada hubungan yang makin lama makin semu? Bisakah kita saling menunggu selama 2 tahun?

Maka kamu mengajakku berdoa. Semoga jarak ini cepat atau lambat akan berakhir, katamu. Aku hanya berharap satu hal: semoga dalam dua tahun semuanya tetap sama. Meskipun itu rasanya terdengar terlalu berat untuk terkabul. Diam-diam aku merasa bersalah meninggalkanmu lebih dulu...


Krc, 15022013. 10:32 PM.

Comments

Popular Posts