Pulang ke Semarang
Hari Minggu, 21
Agustus 2011. Tepat tengah hari, sebuah panggilan telepon mengejutkan saya yang
ketika itu sedang bersiap untuk makan siang. Mama mengabarkan bahwa Oma dari
pihak Papa, yang tinggal di Semarang telah berpulang pagi tadi. Tiba-tiba dunia
terasa pengap, mendadak memori tentangnya bertebaran di semesta pikir saya.
Yang meskipun tidak banyak, namun cukup meninggalkan kenangan manis buat saya.
Susana Sie (1933-2011) |
Susana Sie, lahir di Bandung 78 tahun lalu, yang di kemudian hari menikah dengan Engkong saya, Yap Hok Djoen (Suryo Hadinoto). Dari beberapa orang, saya mendengar bahwa keduanya menjalin cinta antara guru-murid. Tak heran, perbedaan usia keduanya mencapai 13 tahun.
Oma yang beberapa tahun ini semakin menurun daya ingatnya, dibarengi dengan semakin melemahnya fungsi gerak tubuh, akhirnya harus menyerah. Beberapa waktu lalu, saya dan Papa-Mama sempat berencana untuk pulang ke Semarang selama libur lebaran, tapi jalan hidup berkata lain, kepulangan ini harus dimajukan seminggu.
Buntutnya, saya
harus pulang mendadak ke Semarang pada hari Senin. Segala macam urusan harus
saya selesaikan Minggu malam –pesan tiket ke Semarang, proposal internship yang
harus dikirim Senin, serta beberapa urusan kampus— yang karena bantuan beberapa
teman, akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Saya pun pulang ke Semarang. Untuk kedua kalinya sejak 1991/1992. Di satu sisi, Semarang adalah kota asal Papa saya, di sisi lain saya merasa asing dengan kota satu ini. Otomatis, ingatan saya tidak banyak, karena saat pertama kali ke Semarang usia saya baru 20 bulan.
Saya pun pulang ke Semarang. Untuk kedua kalinya sejak 1991/1992. Di satu sisi, Semarang adalah kota asal Papa saya, di sisi lain saya merasa asing dengan kota satu ini. Otomatis, ingatan saya tidak banyak, karena saat pertama kali ke Semarang usia saya baru 20 bulan.
Saya, Mama, dan Oma (1991) |
Papa saya, yang
memutuskan untuk bekerja di Jawa Timur harus tinggal jauh dari kota asalnya.
Demikian pula saya, yang lebih banyak menghabiskan masa kecil saya di
Probolinggo, kota kecil di timur Surabaya. Kepulangan ini membawa seabrek
kenangan tentang Oma serta keluarga besar di Semarang.
Sebagai cucu yang tinggal jauh dari Oma, kenangan saya tidak banyak. Namun bebrapa diantaranya cukup berkesan, saya masih ingat betul bagaimana aksen Sunda Oma saya ketika bicara, saya masih ingat bahwa lagu kesukaannya adalah Ye Shanghai, bahkan saya masih ingat gelang giok yang dipakai di pergelangan tangan kirinya.
Saya cukup
bersyukur untuk berbagai kenangan indah bersamanya. Tapi ada satu hal yang
membuat saya sedikit kecewa. Orang bilang, kita baru menyadari kehadiran seseorang
saat kita kehilangannya. Dan saya merasakan itu. Saya merasa kekurangan quality time bersama keluarga di Semarang.
Saya merasa ‘kurang hadir’ di kehidupan mereka. Saya ada, namun tak ‘hadir’.
Ketika akhirnya
saya harus pulang ke Semarang setelah Oma berpulang, kekecewaan itu akhirnya menggumpal.
Saya bertemu terakhir kali dengan Oma tahun 2003. Oma, yang saat itu
mendampingi Engkong untuk berobat di Jakarta, masih terlihat sehat meskipun
penurunan daya ingatnya sudah mulai terlihat. Beberapa kali beliau juga sempat
mengunjungi Probolinggo saat saya masih kecil. Kami sempat mengunjungi Gunung
Bromo dan Taman Safari Prigen. Lama setelah itu, ketika saya harus tinggal
sendiri untuk kuliah, saya hanya mendengar kabarnya dari Papa via telepon,
tentang kondisi kesehatannya yang fluktuatif dari hari ke hari.
Maka pada
akhirnya berbagai kenangan indah bersamanya harus saya tutup di Minggu pagi
itu. Tak ada lagi kesempatan bagi saya untuk bertanya apakah Oma masih suka
lagu Ye Shanghai? Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menceritakan panjang
lebar bagaimana Oma bertemu Engkong. Tak ada lagi kesempatan bagi saya untuk
mengajaknya ke Gunung Bromo atau mengunjungi beberapa danau di pinggiran
Probolinggo.
Tapi dari sekian
banyak kesempatan yang terbuang, saya masih punya satu kesempatan unuk berdoa
dan bertemu dengannya secara langsung, secara personal meskipun dunia kami tak
lagi sama. Dan untuk itu saya pulang ke Semarang.
Saya bangga bisa
menjadi cucu dari Oma sehebat beliau, dan saya berharap ia cukup bangga punya
cucu seperti saya. Semoga saya bisa tetap membuatnya bangga di hari-hari
mendatang, meskipun ia telah tiada.
Ketika saya
akhirnya sampai di Semarang, Oma sudah terbaring dalam peti. Sedikit demi
sedikit kekecewaan saya terobati bersamaan dengan doa dan percakapan searah
yang saya tujukan padanya. Saya tak lagi meratapi akan sedikitnya waktu bersama
Oma, saya akhirnya bersyukur karena kenangan bersamanya adalah kenangan indah
yang tak terlupakan. Meskipun tidak banyak, tetapi cukup membekas dalam hati
saya, dan itu sudah cukup buat saya.
Orang bijak
berkata bahwa dalam setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Dan saya percaya itu. Oma
membuat peristiwa berpulangnya ke pangkuan Tuhan menjadi indah dengan
berkumpulnya anak-menantu, cucu, bahkan cicit. Bagaimana ia secara tidak
langsung mempersatukan kami yang telah tersebar di Jakarta, Bandung, Singapore,
Probolinggo, dan Semarang untuk hadir mengantarkannya ke peristirahatan
terakhir. Dan untuk ini, saya berharap Oma bisa lega dan tersenyum.
Untuk keluarga
besar Papa, saya tidak pernah meragukan keramahan dan kehangatan mereka. Sejak
saya kecil, meskipun kami terpisah jauh namun tetap berhubungan lewat telepon.
Hubungan ini semakin erat ketika era Facebook dan Twitter menyerbu. Lewat
jejaring sosial, kami bisa berhubungan tanpa memperdulikan jarak ribuan
kilometer.
Ada pepatah
mengatakan bahwa darah lebih kental daripada air. Dan ketika saya kembali pada
keluarga besar saya di Semarang, saya merasakan kehangatan yang sama bahkan
lebih dari yang saya rasakan sebelumnya. Dengan pertemuan ini kami merasa lebih
dekat.
Dan pada
akhirnya, hidup pada intinya adalah perubahan terus menerus. Life is a constant change. Ada orang
yang datang dan pergi, namun ada satu hal yang tetap abadi: rasa. Bagaimana
rasa bisa menggerakkan hati setiap orang, bagaimana rasa bisa membuat orang
yang jauh di mata bisa dekat di hati.
Untuk cinta saya
pada Oma, serta kehangatan keluarga Hadinoto yang membuat saya betah, saya
persembahkan postingan ini.
Terima kasih
telah memberi arti dan makna pada kepulangan saya ke Semarang. Dan dari sana,
saya memahami apa arti RUMAH yang sebenarnya.
*) Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi
Comments
Post a Comment