Catatan tentang Teknik Kimia (Part III)
‘Anyone who has never made a mistake has never tried anything new.’
Albert Einstein (1879-1955)
Albert Einstein (1879-1955)
Seseorang yang tidak pernah berbuat kekeliruan, tak akan pernah belajar dari apapun. Berkaca pada Albert Einstein yang menemukan teori relativitas dengan rumus E=mc2, ia melakukan kesalahan dengan menulis surat kepada Presiden Roosevelt di tahun 1939, menunjukkan terbukanya kemungkinan membikin senjata atom dan sekaligus menekankan arti penting bagi Amerika Serikat selekas-lekasnya membikin senjata itu sebelum didahului Jerman. Gagasan itulah kemudian mewujudkan ‘Proyek Manhattan’ yang akhirnya bisa menciptakan bom atom pertama. Tak seorang pun membuat kekeliruan hingga tahun 1945 tatkala bom atom menyapu Hiroshima dan Nagasaki. Dampak yang tak disadari oleh banyak pihak sebelumnya, telah membuka mata dunia akan sisi kemanusiaan. Peristiwa ini pula yang menjadi tonggak lahirnya semangat perdamaian dunia. Pandangan mata dunia tertuju pada sisi kemanusiaan dan hak asasi manusia yang sebelumnya tak pernah diberi perhatian khusus.
Sebuah peristiwa, sekecil apapun, kadang membawa dampak yang amat besar bagi seseorang. Terlebih bagi peristiwa-peristiwa yang mengecewakan. Bukankah orang lebih tertarik untuk berpikir setelah gagal? Bukankah orang sudah merasa puas ketika berhasil, yang mengakibatkan tak adanya kontemplasi lanjut dalam dirinya? Kegagalan membuat kita bersemangat untuk bangkit, alih-alih menangis kecewa berkepanjangan. Sebaliknya, keberhasilan membuat kita merasa puas, hingga tidak pernah ada perkembangan –stagnan di satu tempat/keadaan- yang berarti.
Kegagalan dapat menjadi kunci utama sebuah keberhasilan, karena dari kegagalan itulah seseorang belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Melangkah kembali dengan persiapan bekal yang lebih matang.
Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa saya panjang lebar menjelaskan definisi mengenai kegagalan pada paragraf-paragraf di atas. Semata-mata karena saya merasa kecewa atas hasil akademik yang saya capai pada semester ini. Dan inilah puncak kekecewaan saya, sebuah curhat colongan yang entah kalian beri nama apa.
Saya merasa bahwa semester ini saya kehilangan kendali, semangat saya padam, bensin saya habis. Saya berada pada krisis pertengahan –mid crissis- yang membebani saya. Saya sampai di satu titik dimana saya benar-benar muak dengan Kimia. Seperti hujan yang datang kadang-kadang, saya juga membenci Kimia kadang-kadang. Mencintai tidak harus setiap waktu, bukan? Ada saatnya kita muak. Saat beban yang sudah menumpuk dan terasa tak kuat lagi dipikul, saya merasa wajib untuk beristirahat sejenak, menurunkan pikulan saya. Namun istirahat itu nampaknya demikian membius, hingga saya terbuai.
Sepenuhnya, saya sadar ini karena kesalahan saya sendiri. Seperti pengendara mobil yang merasa aman pada jalanan menurun, hingga lupa mengerem, dan akhirnya tergelincir. Dan saat ia sadar, ia sudah berada di tepi jurang. Tak perlu menyalahkan orang lain, karena saya pengendaranya. Saya yang bertanggung jawab atas laju mobil dan keselamatan penumpang di dalamnya.
Pengalaman ini saya alami pada semester III, bagaimana saya menganggap bahwa Teknik Kimia hanya “begitu-begitu saja”. Konsep ini yang akhirnya membius saya untuk menganggap enteng segala hal [dalam hal ini bidang akademik]. Ah, gitu saja... Ah, nanti aja... Ah, nanti juga ngerti...
Akhir-akhir ini baru saya sadari bahwa tetes-tetes air dapat menjadi air bah saat ia dibendung. Konsep belajar yang selama ini saya pegang ternyata keliru. Belajar ibarat mengisi sebuah botol bermulut kecil. Saat kita mengguyurnya dengan air seember –yang bahkan jauh lebih banyak dari volume botol- air yang tertampung justru sedikit. Di lain sisi, saat kita mengisinya sedikit demi sedikit, lama kelamaan botol tersebut akan penuh.
Saya lalai. Baru belajar setelah menjelang ujian. Hal ini karena anggapan saya yang cenderung menganggap: “Ah, nanti juga bisa...”. Dan nyatanya saya tidak bisa, saya tidak paham. Ujungnya, nilai IP saya merosot tajam ke angka 3,50. Miris melihatnya, hingga saya ingin balik badan dan menangis sendirian. Ibarat bom atom yang tak saya duga sebelumnya, angka ini kembali membuka mata saya. Membuat saya menyibak kembali misi dan semangat akademik saya pada catatan-catatan sebelumnya. Bagaimana semangatnya saya untuk masuk dan bertahan di Jurusan Teknik Kimia. Satu hal yang saya perjuangkan habis-habisan dan tentunya tidak ringan. Bertahan pada KEPUTUSAN saya sendiri, yang diperjuangkan oleh banyak orang –yang mencintai saya- dengan banyak keringat dan pikiran.
Saya merasa berdosa, hingga saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya ingin membohongi waktu dan kembali ke titik dimana segalanya bermula. Tapi sang waktu tetap egois, berjalan sesuai kemauannya sendiri, hingga tak ada cara lain bagi saya selain ikut maju bergerak menuju masa depan. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Saya masih punya waktu –yang meskipun tidak panjang tapi cukup- untuk memperbaiki apa yang telah cacat.
Kata orang, hidup ibarat roda. Saya punya anggapan agak berbeda tentang hidup. Bagi saya, hidup ibarat jalan menuju puncak tertinggi Himalaya, yang tak selalu naik, tapi juga turun. Untuk mencapai puncak, kita seringkali dihadapkan pada berbagai halangan dan hambatan. Namun, selama kita masih punya mimpi dan harapan untuk mencapai puncak, niscaya suatu waktu kita akan sampai. Saat kita jatuh, kita masih punya semangat untuk bangkit.
Semangat yang berawal dari kegagalan bagaikan minyak tersulut api. Ia datang pada saat yang tepat, hingga kita tergerak untuk maju. Saya juga berpendapat demikian. Tahun ini, khususnya semester ini merupakan masa transisi bagi saya mencapai kedewasaan berpikir. Meninjau ulang arti kata ‘belajar’ sesungguhnya. Oke, saya gagal semester ini. Tapi setidaknya saya masih punya harapan untuk memperbaikinya semester depan, yang membuat saya masih memegang teguh mimpi dan harapan saya sendiri, yang membuat saya masih mampu berdiri tegak, yang membuat saya mampu menghapus duka kekecewaan ini.
Saya sendiri merasa, penyataan di atas terasa demikian absurd. Semester lalu saya juga berbicara seperti itu. Sejauh ini, saya sudah melakukan yang terbaik yang saya bisa. Setidaknya, di minggu-minggu terakhir semester III saya masih sempat bangkit dan belajar keras, hingga penurunan ini masih saya anggap ‘berada dalam kendali’. Setidaknya, dampak yang dihasilkannya tak terlalu buruk, meminjam istilah perbankan: ‘tak berdampak sistemik’.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Pusat Bahasa, ‘transisi’ berarti peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) pada yang lain. Semester ini akan menjadi permulaan saya untuk mengalami transisi, beralih dari kegagalan menuju keberhasilan. Saya punya semangat baru dan optimisme baru dalam menghadapi semester yang baru. Prinsip hidup yang menjadi motto saya tahun lalu juga masih berperan: Percaya bahwa esok matahari masih akan terbit.
Semester ini akan saya isi dengan 20 SKS yang terdiri atas:
-Pemodelan Teknik Kimia [4 SKS]
-Kinetika dan Katalis [4 SKS]
-Proses Pemisahan I [4 SKS]
-Proses Pemisahan II [4 SKS]
-Praktikum Teknik Kimia II [2 SKS]
-Teknologi Pembekuan Makanan [2 SKS]
Tanggal 25 Januari 2010 menjadi pembuka dari semester IV. Dengan semangat baru, saya optimis dan berjanji untuk melakukan yang terbaik yang mampu saya berikan. Harapan ini akan saya simpan seaman mungkin, seperti menyimpan berlian dalam genggaman erat. Saya masih percaya bahwa semesta masih berpihak pada saya. Hanya tergantung pada tanggapan saya akan panggilannya. Kini, ijinkanlah saya bangkit dan berjuang kembali, karena perjuangan belum usai.
‘Hidup adalah soal keberanian. Menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah.’
Soe Hok Gie [19 Juli 1966]
Soe Hok Gie [19 Juli 1966]
Comments
Post a Comment